Inilah Bunyi Pasal Santet Dalam Rancangan KUHP


0dukun_dalam islam_islampos
RANCANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat ternyata mengandung unsur santet. Dalam rancangan undang-undang yang diajukan pemerintah tersebut, pasal 293 mengatur penggunaan ilmu hitam ini.
Berikut ini bunyi pasal tersebut:
(1). Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
(2) Jika pembuat tindak pidana sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).
Mengetahui delik santet akan dimasukkan ke ranah pidana, paranormal Ki Kusumo secara tegas menolak pembahasan santet. Menurut paranormal ini, santet merupakan tindakan yang sangat sulit dibuktikan secara rasional. Sementara hukum pidana adalah hukum yang rasional. Sehingga, bila pasal tersebut disahkan dikhawatirkan menimbulkan berbagai masalah di kemudian hari. “Bisa menimbulkan gejolak sosial di masyarakat,” tegasnya dalam jumpa pers.
Dia juga mengingatkan, jika delik santet disahkan kemungkinan akan dimanfaatkan orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjatuhkan musuhnya atau orang lain yang tidak disukainya.
Ketimbang membahas pasal santet dalam RUU KUHP, Ki Kusumo menyarankan DPR, melalui Tim Pengawas Century untuk bekerja sama dengan KPK dalam mengorek keterangan Anas Urbaningrum yang dinilai mengetahui kemana saja aliran dana itu mengalir. “Anas harus memberitahu semua yang dia tahu,” tandasnya.
Sementara itu, Anggota Komisi III Fraksi PKS memandang permasalah santet perlu diatur dalam Undang-Undang. Menurut dia, santet memang sulit dibuktikan. Namun tetap perlu ada aturan yang mengatur hal-hal yang dipercaya masyarakat sebagai hal gaib.
“Santet akan kesulitan pembuktian, ruang lingkupnya seperti apa. Tapi dimasukkan sebagai tindak pidana sah-sah saja,” ujarnya.
Buchori menambahkan santet atau yang juga dikenal dengan sihir adalah hal yang akrab di masyarakat Indonesia. Perlu ada aturan yang mengatur hal tersebut.
Sedangkan dalam Islam, jumhur ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir secara mutlak. Di antara mereka adalah Malik, Abu Hanifah, pengikut Al-Imam Ahmad dan selain mereka. (Adhwaul Bayan, 4/455)
Lantas bagaimanakah hukuman bagi mereka? Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya mengatakan: Ibnu Hubairah berkata: “Apakah dibunuh orang yang hanya melakukan perbuatan sihir atau tidak?” Malik dan Ahmad menyatakan ya (dibunuh), Asy-Syafi’i dan Abu Hanifah mengatakan tidak. Adapun apabila dia membunuh seseorang dengan sihirnya maka dia harus dibunuh menurut pendapat Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.
Telah ada riwayat dari ulama salaf yang membunuh pelaku sihir. Diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Shahih beliau dari Bajalah bin ‘Abdah, berkata ‘Umar bin Al-Khaththab: “…agar membunuh para tukang sihir.” Maka kami membunuh tiga tukang sihir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahab dalam Kitab At-Tauhid berkata: “Telah shahih dari Hafshah bahwa beliau memerintahkan untuk membunuh budak yang menyihirnya.” Dan telah shahih pula dari Jundub radhiallahu anhu.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid (hal. 343) berkata: “Diriwayatkan pula yang mengatakan (tukang sihir harus dibunuh) dari ‘Umar, ‘Utsman, Ibnu ‘Umar, Hafshah, Jundub bin Abdullah, Jundub bin Ka’ab, Qais bin Sa’d, dan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (29/384) berkata: “Sungguh telah diketahui bahwa sihir adalah haram berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah, dan ijma’ umat. Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tukang sihir adalah kafir dan telah shahih dari ‘Umar bin Al-Khaththab tentang harusnya dibunuh dan juga dari ‘Utsman bin ‘Affan, Hafshah bintu ‘Umar, Abdullah bin ‘Umar, dan dari Jundub bin Abdillah dan telah diriwayatkan secara marfu’ (sampai sanadnya kepada Rasulullah).