130 tahun lalu atau tepatnya pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh. Sejarah kelam yang merupakan awal terjadinya kekerasan di daerah ini, bermula ketika JF Nieuwenhuijzen dalam kapasitasnya sebagai Komisaris Pemerintah Belanda datang ke Aceh pada 19 Maret 1873. Ia bersama armadanya yang terdiri dari Kapal Citadel van Antwerpen diiringi kapal perang Marnix, Coehorn, dan Siak, berlabuh di pantai Cermin, Ulee Lheue, Kutaradja (sekarang Banda Aceh).
Pada 22 Maret atau empat hari sebelum maklumat perang itu dikeluarkan, Sidi Tahir, pegawai Belanda diutus ke darat untuk menyampaikan surat Nieuwenhuijzen kepada pemimpin Aceh, Sultan Alaidin Mahmudsyah. Dalam surat itu, Belanda minta Kerajaan Aceh menghentikan hubungan diplomatik dengan para konsul asing di Singapura dan menawarkan suatu perundingan baru antara Aceh dengan Belanda.
Ancaman kolonialisasi
Pada malamnya, Sidi Tahir kembali ke kapal, menghadap tuannya Nieuwenhuijzen dengan membawa surat balasan Sultan Aceh yang berisi penolakan terhadap tawaran tersebut. Surat ini merupakan intervensi langsung Belanda yang melihat Aceh sebagai satu ancaman serius bagi proses kolonialisasi di Nusantara.
Tidak puas dengan surat dari Sultan, pada 24 Maret 1873 Nieuwenhuijzen kembali mengutus Sidi Tahir dengan menulis sepucuk surat lagi kepada pemimpin Aceh, Sultan Mahmudsyah, dengan mencurahkan perasaan kecewanya serta menuduh Kerajaan Aceh sebagai tidak bersahabat dan meminta dalam waktu 24 jam setelah surat ini diterima, Sultan harus memberikan penjelasan yang benar dan memuaskan hati Gubernemen Hindia Belanda.
Kedatangan Sidi Tahir kedua kali diterima Sultan secara wajar sesuai dengan kalaziman perlakuan terhadap seseorang utusan resmi. Setelah membaca surat kedua itu, Sultan Alaidin Mahmud Syah dan para pembesar kerajaan Aceh menilai bahwa sikap Komisaris pemerintah Belanda ini sangat sombong dan angkuh, tidak memiliki etika sedikit pun dalam persoalan diplomasi dan telah melakukan pelanggaran kedaulatan wilayah Kerajaan Aceh.
“Pengiriman utusan-utusan Belanda untuk berunding dengan Pemerintah Kerajaan Aceh tidak ada gunanya. Karenanya maksud tersebut supaya diundurkan saja dan saya tegaskan kepada tuan bahwa saya dari darat telah melakukan penghormatan kepada Gubernemen Hindia Belanda dengan 21 kali memasang meriam, sedangkan tuan tiada menerima balasan kehormatan itu bahkan tuan telah begitu lancang melanggar kedaulatan wilayah kerajaan Aceh,” kata Sultan dalam surat balasannya.
Sultan memutuskan bahwa Aceh tidak akan tunduk kepada ancaman Belanda dan setiap serangan akan dibalas dengan serangan pula. Segenap lapisan rakyat diserukan untuk ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kehormatan dan kedaulatan kerajaan Aceh dari setiap serangan dan ancaman musuh. Sultan bertitah: “Udep merdeka, mate syahid. Langet sihet awan peutimang, bumoe reunggang ujeuen peurata. Salah narit peudeueng peuteupat, salah seunambat teupuro dumna.”
Menyatakan perang
Nieuwenhuijzen sangat marah ketika membaca balasan surat Sultan dan menyimpulkan akan mendobrak Aceh dengan kekerasan. Inilah awal permusuhan terbuka antara Belanda dan Aceh. Tepat pada 26 Maret 1873, dengan kekuasaan dan wewenang yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, Nieuwenhuijzen menyatakan perang terhadap rakyat dan pemimpin Aceh. Ultimatum ini juga memberi ancaman kepada setiap orang akan segala akibat yang ditimbulkan oleh situasi perang itu.
Menurut catatan perang pemerintah Belanda secara resmi, kekuatan yang diturunkan untuk membumihanguskan Aceh adalah dipimpin oleh Jenderal Mayor JHR Kohler, yang membawahi tiga batalyon tempur infantri yang dikomandoi oleh Kolonel van Daalen dibantu oleh Mayor FP Cavalje. Jumlah kekuatan angkatan darat seluruhnya 168 opsir, 3.198 serdadu yang terdiri dari 1.098 orang Belanda dan 2.100 orang Indonesia dari Ambon, Menado, Jawa dan lain-lain, 31 kuda perang untuk opsir, 149 kuda untuk serdadu, 1.000 orang hukuman, 220 perempuan tidak bersuami, 8 bersuami dan 300 buruh.
Kekuatan angkatan laut terdiri dari kapal perang Jambi dengan 15 opsir, 200 serdadu Belanda, 41 serdadu dari Nusantara, 8 pucuk meriam tarik ukuran 16 cm, 8 pucuk meriam lainnya dan mortir. Kapal perang Citadel van Antwerpen, dengan 15 opsir, 185 serdadu Belanda dan 41 serdadu Indonesia asli. Kapal perang Marnix dengan 11 opsir, 110 sedadu Belanda dan 57 serdadu Indonesia asli. Kapal perang Soerabaja dengan 8 opsir, 130 serdadu Belanda dan 57 serdadu dari berbagai daerah di Nusantara. Kapal perang Coehoorn dengan 5 opsir, 65 serdadu Belanda dan 23serdadu Indonesia asli.
Kapal Soematera dengan 6 opsir, 75 serdadu Belanda dan 30 serdadu dari berbagai daerah Nusantara. Kapal ini membawa 1 Landings divisie dengan 14 opsir, 1 opsir laut, 152 matros dan 116 marinir. Diperkuat dengan 4 houwitser, 1 meriam tarik, 11 mortir yang dilayani oleh 3 opsir dan 47 serdadu bawahan. Kapal Siak dengan 8 opsir dan 45 serdadu Indonesia asli. Kapal Bronbeek dengan 8 opsir dan 35 serdadu Indonesia asli.
Pada 8 April 1873, Panglima Angkatan Bersenjata Hindia Belanda di Batavia, Letnan Jenderal FJ Kroesen memerintahkan Jenderal Mayor JHR Köhler untuk memimpin penaklukan Masjid Raya dan istana kesultanan Aceh. Namun nahas baginya dimana pada Kamis sore, 10 April 1873, di sekitar Masjid Raya Baiturrahman terjadi pertempuran sengit bahkan masjid ini terbakar. Melihat api menjilati mesjid, rakyat Aceh marah ingin mempertahankan marwah masjid raya ini, sebutir peluru yang dibidik dari jarak jauh mengena tubuh jenderal Köhler dan dia tersungkur berlumuran darah. Pada 17 April 1873, Nieuwenhuijzen meminta persetujuan Batavia supaya seluruh pasukan ditarik kembali ke Jawa.
Awal budaya kekerasan
Mulai 26 Maret inilah awal bermulanya budaya kekerasan di Aceh, dari negeri yang aman menjadi negeri yang penuh dengan bau amis darah para syuhada. Perang ini berlangsung puluhan tahun lamanya dengan menelan korban jiwa yang sangat besar dan kerugian yang tak terkira bagi kedua belah pihak. Bahkan, Belanda mengakui bahwa selama menjajah Indonesia 5 jenderalnya tewas, 4 di antaranya meregang nyawa di bumi Iskandar Muda, yaitu JHR Kohler, JLJH Pel, H Demmeni, JJK de Moulin. Kuburan mareka masih bisa kita saksikan di Kerkhoff Banda Aceh, terbaring bersama ribuan tentara Hindia Belanda lainnya.
Paul van’t Veer, dalam Perang Aceh mengatakan bahwa Belanda hampir 69 tahun lamanya tak henti-hentinya berperang di Aceh. Katanya Aceh adalah daerah yang paling akhir dimasukkan ke dalam daerah pemerintahan Belanda, dan yang mula-mula sekali pula keluar dari padanya pada 1942.
Perang Belanda di Aceh telah melahirkan kesadaran para tokoh Indonesia, bahwa jiwa yang mencintai kebebasan dan kemerdekaan tidak mudah ditundukkan dengan ketangguhan materi belaka, karena cita-cita yang bersenandung di dalam hati sanubari suatu bangsa adalah senjata yang paling tangguh dari berbagai jenis senjata tangguh apa pun juga.
Merenung peristiwa bersejarah ini, saya teringat sebuah kalimat yang pernah diucapkan oleh Hasan Tiro, dalam bukunya A new birth of freedom, yang diterbitkan di New York, Amerika Serikat, pada 1965, menyebutkan: “Mengenal sejarah memang bukan untuk menguasai masa silam, tetapi dengan sejarah kita masih dapat menguasai masa depan.”
Para ahli sejarah memandang bahwa masa depan itu adalah kelanjutan dan perkembangan dari masa silam, masa depan tergantung pada apa yang kita lakukan pada masa sekarang. Apa yang kita lakukan untuk Aceh pada masa kini akan berdampak pada masa depan yang akan disikapi oleh cucu-cucu generasi Aceh.
Inilah sedikit kilas balik mengenang 26 Maret, di mana Aceh telah menjadi target operasi Belanda selama 62 tahun. Ini tentu saja bukan penghentian semangat perang di Aceh, melainkan sebuah energi dan vitamin bagi kita untuk mengatakan bahwa udara bebas yang kita hirup hari ini adalah berkat darah para syuhada.
* M. Adli Abdullah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, dan Pembina Dayah Najmul Hidayah Al Aziziyah Meunasah Subung Cot Meurak Samalanga. Email: bawarith@gmail.com