Kisah Tawasul Tiga Orang Saleh di Dalam Gua (1)



Gurun pasir (ilustrasi)


Alkisah, di masa lalu jauh sebelum Islam lahir, terdapat tiga orang mukmin yang pribadinya amat saleh. Mereka berasal dari golongan bani Israil yang amat patuh dan taat pada perintah Allah. Mereka menjauhi larangan-Nya dan takut akan azab. Mereka mementingkan keridhaan Allah ketimbang kenikmatan dunia.

Suatu hari, tiga orang saleh tersebut melakukan perjalanan. Hingga di tengah perjalanan, ketiganya didera hujan deras. Mereka pun kemudian berlari dan berlindung ke sebuah gua di kaki gunung. Namun saat ketiganya telah berada di dalam goa, tiba-tiba sebuah batu besar jatuh dan menutup pintu gua.

Paniklah ketiganya. Batu tersebut amat besar nan berat hingga sulit dipindahkan. Mereka tak akan mampu keluar kecuali dengan pertolongan Allah.

Berkatalah salah seorang di antara mereka, "Pikirkanlah amalan saleh yang pernah kalian kerjakan karena Allah, kemudian berdoalah kepada Allah dengan amalan saleh tersebut. Mudah-mudahan Allah menyingkirkan batu itu dari kita," ujarnya kepada dua temannya.

Maka mulailah mereka berfikir amalan kebajikan apa yang pernah mereka lakukan dengan niat tulus kepada Allah. Ketiganya pun mengingat-ingat hingga menemukannya. Segeralah mereka bertawassul dengan amalan mereka. Mereka menjadikan amalan sebagai perantara dikabulkannya doa.

Orang saleh pertama pun bertawasul dengan amalan baktinya kepada orang tua. Ia merupakan seorang pengembala miskin yang berkewajiban menafkahi kedua orang tua, istri dan anak-anak yang masih kecil.

Setiap pulang mengembala, ia memerah susu untuk diberikan pada keluarganya tersebut. Setiap hari, ia melakukannya rutin dengan memberikan susu kepada kedua orang tuanya lebih dahulu, baru kemudian anak dan istrinya.

Suatu hari, ternak si pengembala berlari jauh dari tempat merumput biasa. Akibatnya, ia pulang ke rumah setelah matahari terbenam. Seperti biasa, ia memeras susu dari ternaknya. Namun ketika tiba di rumah, orang tuanya telah tertidur lelap. Bukan memberikan kepada anaknya, si pengembala justru menunggu orang tuanya terbangun.

Ia menunggu di sisi keduanya sementara anak-anaknya menangis meminta susu tersebut karena lapar. "Aku tidak suka memberi minum anak-anakku sebelum kedua orangtuaku meminumnya," ujar si pengembala.

Tentu saja si pengembala tak tega dengan anak-anaknya yang terus saja menangis. Namun baktinya pada orang tua begitu besar, hingga terus menunggu keduanya bangun. Ia terus menunggu dengan perasaan iba pada anaknya hingga fajar menyingsing.

"Seperti itulah kondisiku dan anak-anakku hingga terbit fajar. Ya Allah, jika engkau tahu bahwa aku melakukannya karena Engkau, karena mengharap wajahMu. Maka bukakanlah dari batu ini satu celah untuk kami agar dapat melihat langit," pintanya kepada Allah, ArRahman ar-Rahim. Allah pun mengabulkan doanya dan membuat batuyang menutup rapat pintu goa agar terbuka sebuah celah. (bersambung)

 Afriza Hanifa
Redaktur : Heri Ruslan