Setiap penziarah yang datang dan salat mengeluhkan prihal bumbung kanan makam yang terlalu kecil.
SITUS sejarah makam Pang Nanggroe dan Pang Lateh yang terletak di Desa Pante, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara butuh perbaikan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Utara. Selama ini jika tempias hujan selalu masuk ke dalam makam dan membasahi pengunjung yang salat di lantai makam tersebut.
Makam pang Nanggroe berdampingan dengan Pang Lateh yang telah dipugar lengkap dengan pembangunan cungkup makam oleh Pemerintah Aceh Utara pada tahun 1992. Sebelum pemugaran permanen, dulunya cungkup makam terbuat dari papan dan seng.
Agar tidak masuk unggas warga, pagar besi yang telah di cat berwarna biru itu juga diberi jaring. Di depan kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya.
Di belakang komplek makam tersebut ada pabrik padi. Samping kiri lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express, sisi kanan rumah warga yang berada di atas tanggul sungai.
Kondisi di dalam makam cukup bersih. Rumput yang tadinya tumbuh subur pun telah mengering karena disemprotkan pestisida. Di atas tanah luar makam hanya terlihat daun kering yang berserakan. Selebihnya cukup bersih.
Lokasi makam sangat mudah dijangkau. Letaknya berjarak 50 meter dari Kantor Pos Lhoksukon.
Iskandar (63 tahun) warga Desa Pante yang bertugas menjaga makam sejak tahun 1990 silam kepada ATJEHPOST.com, Jumat 22 Maret 2013 mengatakan makam itu sering diziarahi warga dari berbagai daerah. Kebanyakan untuk melepas nazar dan salat di dalam komplek makam yang berlantai keramik putih.
Untuk melepas nazar, kata Iskandar, biasanya dilakukan di sebuah balai dengan jarak 120 meter dari komplek makam.
“Setiap penziarah yang datang dan salat mengeluhkan prihal bumbung kanan makam yang terlalu kecil. Sehingga tempias hujan masuk dan mengenai penziarah saat sedang shalat. Para penziarah mengharapkan bumbung kanan itu diperlebar,” ujar lelaki renta kelahiran Semarang itu.
Pang Nanggroe merupakan suami ketiga Cut Meutia dan juga pejuang Aceh masa kolonial Belanda. Dia adalah salah satu panglima perang pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Chik Di Tunong, salah satu ulee balang di Keureuto, Aceh Utara. Dia gugur pada 26 Oktober 1910, saat pertempuran melawan belanda di Meurandeh Paya dan Paya Cicem yang dipimpin oleh Van Sloten.
Sementara Pang Lateh adalah sosok pahlawan juga kawan setia Pang Nanggroe yang menyelamatkan Cut Mutia di Paya Cicem. Beliau gugur pada 22 Oktober 1910 silam, dan kepalanya di bawa ke Lhoksukon untuk di perlihatkan kepada rakyat. Benar atau tidak makanya makam berada di desa itu.[](bna)
Makam pang Nanggroe berdampingan dengan Pang Lateh yang telah dipugar lengkap dengan pembangunan cungkup makam oleh Pemerintah Aceh Utara pada tahun 1992. Sebelum pemugaran permanen, dulunya cungkup makam terbuat dari papan dan seng.
Agar tidak masuk unggas warga, pagar besi yang telah di cat berwarna biru itu juga diberi jaring. Di depan kedua makam itu juga terdapat beberapa kuburan lainnya.
Di belakang komplek makam tersebut ada pabrik padi. Samping kiri lokasi bongkar muat SPSI Lhoksukon Express, sisi kanan rumah warga yang berada di atas tanggul sungai.
Kondisi di dalam makam cukup bersih. Rumput yang tadinya tumbuh subur pun telah mengering karena disemprotkan pestisida. Di atas tanah luar makam hanya terlihat daun kering yang berserakan. Selebihnya cukup bersih.
Lokasi makam sangat mudah dijangkau. Letaknya berjarak 50 meter dari Kantor Pos Lhoksukon.
Iskandar (63 tahun) warga Desa Pante yang bertugas menjaga makam sejak tahun 1990 silam kepada ATJEHPOST.com, Jumat 22 Maret 2013 mengatakan makam itu sering diziarahi warga dari berbagai daerah. Kebanyakan untuk melepas nazar dan salat di dalam komplek makam yang berlantai keramik putih.
Untuk melepas nazar, kata Iskandar, biasanya dilakukan di sebuah balai dengan jarak 120 meter dari komplek makam.
“Setiap penziarah yang datang dan salat mengeluhkan prihal bumbung kanan makam yang terlalu kecil. Sehingga tempias hujan masuk dan mengenai penziarah saat sedang shalat. Para penziarah mengharapkan bumbung kanan itu diperlebar,” ujar lelaki renta kelahiran Semarang itu.
Pang Nanggroe merupakan suami ketiga Cut Meutia dan juga pejuang Aceh masa kolonial Belanda. Dia adalah salah satu panglima perang pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Chik Di Tunong, salah satu ulee balang di Keureuto, Aceh Utara. Dia gugur pada 26 Oktober 1910, saat pertempuran melawan belanda di Meurandeh Paya dan Paya Cicem yang dipimpin oleh Van Sloten.
Sementara Pang Lateh adalah sosok pahlawan juga kawan setia Pang Nanggroe yang menyelamatkan Cut Mutia di Paya Cicem. Beliau gugur pada 22 Oktober 1910 silam, dan kepalanya di bawa ke Lhoksukon untuk di perlihatkan kepada rakyat. Benar atau tidak makanya makam berada di desa itu.[](bna)