Assalamu Alaikum,
Semoga diberkahi & dirahmati Allah. Kepada pengasuh eramuslim, bagaimana hukumnya bank syariah yang dimiliki/ masih membawa simbol bank konvensional?
Apakah masih dikatakan bersyariah? Bagaimana dengan asuransi yang konvensional memiliki produk syariah?
Apakah dana / modal tersebut tidak bercampur ?, Mohon bantuan penjelasannya
Terima kasih
—-
Jawaban atas pertanyaan ini sesungguhnya telah dibahas di dalam Eramuslim digest edisi 8 “The Satanic Finance”. Untuk lebih lengkapnya silakan saudara membacanya. Di sini saya hanya akan memaparkan sedikit gambaran soal bank syariah yang merupakan unit atau masih membawa simbol bank konvensional.
Sebelumnya kita harus mengetahui tentang watak asli kapitalisme, suatu sistem yang berjalan di atas rel riba yang berasal dari orang-orang Yahudi. Lawan dari kapitalisme, yakni komunisme juga buatan Yahudi. Jadi Islam sesungguhnya menolak kedua sistem tersebut.
Dalam sistem kapitalisme, berlaku prinsip “Dengan usaha/modal/kerja sekecil-kecilnya untuk meraih atau mendapatkan laba sebesar-besarnya”. Seperti halnya komunisme, kapitalisme juga menganut prinsip “Tujuan Menghalalkan Segala Cara”. Jadi, jika ada orang atau kelompok yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya, halal haram dilabrak, maka itu sebenarnay sudah menabrak prinsip-prinsip Islam itu sendiri yang menganut pandangan “Benar sejak awal” yakni dimulai dari niat yang benar dan lurus, dikerjakan dengan penuh kehati-hatian agar tidak terperosok ke dalam keharaman dan kezaliman, dan jika semua hal itu sudah dipenuhi maka insya Allah hasilnya juga kaan diridhoi Allah SWT.
Dengan prinsip serakah tersebut, kapitalisme selalu memandang semua hal dari kacamata untung-rugi secara finansil (materialis). Kapitalisme bagaikan bunglon, hewan yang pandai meniru dan mengakomodir medan tempatnya hidup, yang bisa mengkreasi apa pun yang ada demi meraup laba yang sebesar-besarnya. Sebab itu, untuk berkembang, kapitalisme selalu memantau keadaan situasi sosial-politis masyarakatnya.
Kita tentu masih ingat betapa tahun 1980-an umat Islam Indonesia mulai banyak yang mempelajari Islam. Era tersebut diangap sebagai fenomena kebangkitan Islam. Umat Muslim Indonesia mulai menyadari jika Indonesia merupakan negeri mayoritas Muslim terbesar dunia. Dengan sendirinya bertumbuhanlah usaha-usaha alternatif yang berupaya menghindari penggunaan riba dalam menjalankan roda usahanya.
Jika kita sudah mengaji di tahun-tahun tersebut, maka pasti kita diberi pemahaman jika bunga bank adalah haram hukumnya, dan barangsiapa yang bekerja di dalam institusi ribawi tersebut hendaklah meninggalkannya. Saya di tahun-tahun tersebut telah bekerja di sebuah bank konvensional di sebuah gedung tinggi di Jalan Jenderal Sudirman Jakarta. Sebab itu, saya keluar begitu saja dari bank tempat saya bekerja dan mulai belajar menjadi wartawan di sebuah penerbitan Islam.
Melihat fenomena demikian, maka bank-bank konvensional melihat bahwa umat Islam Indonesia yang telah tercerahkan (menghindari riba) merupakan pasar yang menggiurkan. Kian hari jumlahnya kian besar. Usaha-usaha umat Islam yang seperti ini pun kian lama kian berkembang dan besar. Sayang, jika potensi keuntungan ini tidak direspon dengan baik. Maka untuk menjawabnya, bank-bank konvensional pun mendirikan unit “syariah”nya.
Dibuatlah bank “syariah” dengan pegawai perempuan yang menutup aurat, pegawai laki-laki yang mengenakan peci, dan produk-produk perbankan yang ada pun memakai istilah-istilah Arab.
Profesor Umar Ibrahim Vadillo, penggagas dan pimpinan World Islamic Trade Organization (WITO) dan pionir dalam mengembalikan penggunaan dinar-dirham sebagai mata sang Islam, menulis, “Sejak awal, keberadaan ‘Bank Islam’ telah didukung dan dianjurkan oleh para pelaku riba. Tujuan mereka hanyalah untuk membawa berjuta-juta umat Muslim di seluruh dunia – yang secara umum akan menolak penggunaan bank dan segenap institusi ribawi- ke dalam sistem moneter dan finansial internasional (yang tetap berjalan di atas rel ribawi).”
“Untuk memasyarakatkan ‘Bank Islam’, sebuah ilmu baru yang dikenal sebagai ‘Ekonomi Islam’ diperkenalkan oleh berbagai universitas-universitas di Amerika dan Eropa. Walau kedua konsep ekonomi yang tidak berhubungan satu sama lain ini salah dan dipandang rendah oleh kalangan Muslim yang memegang teguh tradisi Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa kedua konsep ini telah menjadi suatu dasar pembenaran yang dipakai oleh para birokrat dan pengelola negara yang mengusung konsep ‘Islam Modern’. Para ekonom Islam yang mengenyam pendidikan kelas dua dari berbagai universitas Barat tidak akan dapat melihat bagaimana pondasi ekonomi telah diporak-porandakan secara keilmuan untuk kemudian dipraktekkan di Eropa,” lanjutnya.
Menurut Profesor Vadillo, sekurangnya ada tiga hal yang menunjukkan jika ‘bank syariah’ bukanlah bagian dari sistem ekonomi Islam, salah satunya adalah tetap digunakannya uang kertas (fiat-money) yang sesungguhnya bukan berasal dari Islam melainkan berasal dari Sunnah-Yahudi.
“Bank Syariah masih menggunakan uang kertas (fiat money), yang beredar dan menginduk ke sistem moneter internasional yang berpusat di AS. Uang kertas bukanlah uang sejati dan tidak memiliki arti dan nilai apa-apa. Beda dengan dinar dan dirham yang memiliki nilai intrinsik. Jadi, selama bank syariah masih menggunakan fiat-money, maka bank itu sebenarnya masih menjalankan praktik riba, hanya istilahnya yang diganti,” demikian Profesor Vadillo.
Untuk lengkapnya silakan baca Eramuslim digest edisi 8 “The Satanic Finance”.Dan untuk bidang asuransi, maka logika yang sama juga berlaku.
Ingin membaca lebih lanjut…silahkan memesan dan memiliki buku tersebut…
No ISBN : 9-771978-509703Isi : 125 Halaman (Full Color)
Ukuran : 17,5 x 25,5 cm
Penerbit : Eramuslim
Berat : 350 gr
Harga : Rp. 40.000 (di luar ongkir)
Pembelian lebih dari 10 eksemplar : Harga satuan menjadi Rp 30.000,- (di luar ongkir)
Untuk pemesanan hubungi atau sms/email dengan dituliskan nama, alamat dan jumlah pemesanan ke: 085811922988 email : marketing@eramuslim.com