Batang yang Menyejarah (5)


(10) Wonobodro. Kata Wonobodro terdiri dari “wono” yang berarti “hutan, alas” dan “bodro” yang berarti “usaha untuk mencapai kemuliaan.” Jadi “Wonobodro” secara harfiah dapat diartikan “Hutan tempat orang-orang melakukan laku tertentu untuk mencapai kemuliaan hidup.” Kemuliaan hidup merupakan bagian dari budaya orang-orang Jawa dalam menyikapi hidup di tengah masyarakat umum. Jaman dahulu, orang-orang yang mulia hidupnya dalam masyarakat dapat berupa pemangku jabatan atau kekuasaan mendapatkan penghormatan yang tinggi dari masyarakat. Untuk mencapai kedudukan yang mulia (sebagai raja dan jabatan-jabatan dalam kerajaan, adipati, lurah/kepala desa, pemimpin komunitas tertentu/imam, ajar, guru, dan sebagainya) orang-orang akan melakukan laku (tindakan) tertentu yang disebut “tirakat”, misalnya dengan melakukan puasa, mengurangi makan/minum, menghindari pergaulan/cinta birahi, mengurangi tidur, mengurangi kesenangan, mengasingkan diri di tempat-tempat sunyi (misalnya di gua, hutan) atau bahkan bertapa selama waktu tertentu.
Berdasarkan nama, dimungkinkan Wonobodro (sekarang ini nama sebuah desa yang terletak di lereng utara Gunung Kemulan, bagian dari Pegunungan Dieng yang masuk wilayah Kab. Batang) dahulunya merupakan kawasan hutan yang dijadikan tempat untuk melakukan “bebadran.” Orang-orang yang bebadran di wilayah itu lama-kelamaan memilih tempat itu sebagai tempat tinggal. Dan seiring dengan perkembangan jaman, orang-orang yang berdiam di tempat itu berkembang-biak sehingga tempat tinggalnya menjadi sebuah pemukiman, yang di kemudian bernama “Wonobodro.”
Apakah yang membuat Wonobodro menyejarah? Di sini terdapat areal pemakaman kuno yang menurut cerita turun-temurun dari penduduk Wonobodro adalah pesarean (pemakaman) para auliya pengikut Syech Maulana Malik Ibrahim, juga disebut Maulana Maghribi (para guru agama dari Barat). Berbeda dari situs Ujung Negoro yang merupakan petilasan Maulana Maghribi, di Wonobodro ini bukan sekedar petilasan, melainkan tempat pemakaman. Artinya, bahwa para pengikut Maulana Maghribi ini tidak sekedar beristirahat dalam perjalanan dakwah Islamiyah, melainkan benar-benar bermukim hingga meninggal di tempat ini. Juga bukan satu makam, namun banyak makam sehingga merupakan kompleks pemakaman. Penduduk setempat menyebutnya komplek makam auliya Wonobodro.
Hampir sepanjang tahun banyak penziarah dari sudut-sudut tanah air (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Luar Jawa) berdatangan ke komplek ini sehingga oleh pemerintah desa Wonobodro dijadikan momen khaul tahunan yang diselenggarakan setiap menjelang bulan Ramadhan (kalau tidak salah). Pemerintah Kab. Batang melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata juga memasukkan Komplek Makam Auliya Wonobodro sebagai salah satu tempat wisata ziarah andalan di Batang.
Keberadaan Komplek Makam Auliya Wonobodro membuktikan bahwa dakwah Islam di Nusantara pada waktu itu (Jawa Tengah khususnya) tidak terlepas dari peran para auliya pengikut Syech Malik Ibrahim (Maulana Maghribi) yang berada di sini. Hingga sekarang ini penduduk di kawasan Kec. Bandar, Blado, Reban, Tersono, Limpung dan Bawang terkenal sangat religius dan taat melaksanakan ajaran agama Islam karena warisan dakwah Syech Maulana Malik Ibrahim dan para pengikutnya yang makamnya hingga saat ini dipelihara dengan baik oleh penduduk sekitar.


Sugito H