(11) Sisa-sisa Laskar Diponegoro. Memang belum ada penelitian ilmiah yang dilakukan pakar sejarah tentang benarkah di wilayah Kabupaten Batang terdapat keturunan sisa-sisa Laskar Pangeran Diponegoro (1825 - 1830). Akan tetapi menurut cerita tutur dari mulut (pencerita) ke mulut (pencerita) lainnya bahwa di wilayah Kabupaten Batang khususnya di bagian selatan (Wonotunggal, Bandar, Blado, Reban, Limpung, dan Bawang) dapat orang-orang yang mengaku masih keturunan pengikut pasukan perang (sisa-sisa Laskar) Pangeran Diponegoro. Mereka masih menyimpan senjata (piandel) yang dahulu digunakan oleh nenek-moyang mereka memerangi Belanda di wilayah Pekalongan, Batang, Kendal, dan sekitarnya. Karena keberadaan mereka sangat dicari-cari oleh tentara pemerintah (Kolonial) Belanda, maka mereka bermukim di wilayah selatan jauh dari pusat pemerintahan di wilayah utara (Batang, Pekalongan).
Perang Diponegoro (oleh Belanda disebut sebagai Perang Jawa, karena dampaknya yang luas mencakup seluruh wilayah Pulau Jawa) memang dirasakan oleh penduduk pulau ini bahkan mereka yang tinggal jauh dari pusat-pusat terjadinya lokasi perang (Jawa Tengah bagian selatan, DIY, hingga perbatasan dengan Jawa Timur bagian barat-selatan dan perbatasan dengan Jawa Barat), termasuk juga penduduk pantura Jawa (mulai Rembang, Pati, Semarang, Batang, Pekalongan, hingga Brebes).
Meskipun perlawanan Pangeran Diponegoro akhirnya terhenti karena politik kotor yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yaitu dengan menipu Pangeran dan pembantu-pembantu dekatnya untuk bermusyawarah di Magelang tapi ternyata ditangkap dan diasingkan ke Makassar kemudian ke Manado, semangat perlawanan rakyat melawan Belanda yang dikobarkan oleh rakyat Indonesia (Jawa khususnya) terus berkobar, tak mengenal padam.
Kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro meninggalkan luka mendalam dan menjadi pupuk bagi tumbuhnya semangat dan perlawanan baru dari anak-anak bangsa sesudahnya yang tidak sudi hidup di bawah tekanan dan penindasan bangsa asing (Belanda). Para keturunan laskar pengikut Pangeran Diponegoro yang bermukim di Batang dan sekitarnya terus melanjutkan kehidupan hingga sekarang. Keberadaan mereka hanya dapat diketahui dari cerita tutur yang hingga sekarang ini kian sulit terlacak karena sudah bercampur-baur dengan penduduk setempat dan membentuk keluarga-keluarga biasa yang bahkan cenderung menghilangkan asal-muasal untuk menghindari pencarian oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.
Dari segi itulah maka boleh dikatakan bahwa Batang memiliki sisi sejarah kecil yang tidak dapat diceraikan dari perjalanan sejarah global Indonesia sekarang ini.
(Sugito Hd)
Perang Diponegoro (oleh Belanda disebut sebagai Perang Jawa, karena dampaknya yang luas mencakup seluruh wilayah Pulau Jawa) memang dirasakan oleh penduduk pulau ini bahkan mereka yang tinggal jauh dari pusat-pusat terjadinya lokasi perang (Jawa Tengah bagian selatan, DIY, hingga perbatasan dengan Jawa Timur bagian barat-selatan dan perbatasan dengan Jawa Barat), termasuk juga penduduk pantura Jawa (mulai Rembang, Pati, Semarang, Batang, Pekalongan, hingga Brebes).
Meskipun perlawanan Pangeran Diponegoro akhirnya terhenti karena politik kotor yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda yaitu dengan menipu Pangeran dan pembantu-pembantu dekatnya untuk bermusyawarah di Magelang tapi ternyata ditangkap dan diasingkan ke Makassar kemudian ke Manado, semangat perlawanan rakyat melawan Belanda yang dikobarkan oleh rakyat Indonesia (Jawa khususnya) terus berkobar, tak mengenal padam.
Kekalahan pasukan Pangeran Diponegoro meninggalkan luka mendalam dan menjadi pupuk bagi tumbuhnya semangat dan perlawanan baru dari anak-anak bangsa sesudahnya yang tidak sudi hidup di bawah tekanan dan penindasan bangsa asing (Belanda). Para keturunan laskar pengikut Pangeran Diponegoro yang bermukim di Batang dan sekitarnya terus melanjutkan kehidupan hingga sekarang. Keberadaan mereka hanya dapat diketahui dari cerita tutur yang hingga sekarang ini kian sulit terlacak karena sudah bercampur-baur dengan penduduk setempat dan membentuk keluarga-keluarga biasa yang bahkan cenderung menghilangkan asal-muasal untuk menghindari pencarian oleh pihak pemerintah kolonial Belanda.
Dari segi itulah maka boleh dikatakan bahwa Batang memiliki sisi sejarah kecil yang tidak dapat diceraikan dari perjalanan sejarah global Indonesia sekarang ini.
(Sugito Hd)