Dia putra Uleebalang dari Nanggroe Nisam. Sang perintis pergerakan kemerdekaan ini berulang kali dibuang oleh penjajah Belanda sampai diungsikan ke Australia.
MASJID itu indah dipandang luar dan dalam. Warna catnya tampak baru, ukiran kaligrafi di dinding bagian dalam sungguh menakjubkan. Di dalam masjid, seorang pria sedang mengepel lantai. Memakai kemeja kuning tua dan celana abu-abu, pria itu ialah petugas kebersihan.
“Pengurus masjid biasanya datang menjelang salat Dhuhur,” kata petugas itu kepada saya dari ATJEHPOSTcom saat menghampirinya, Selasa, 23 April 2013, pukul 10.00 WIB.
Masjid itu, Masjid Besar Bujang Salim, Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang mengadopsi Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Sembari menunggu pengurus masjid, saya memasuki salah satu warung kopi tidak jauh dari Masjid Besar Bujang Salim. Di warung kopi itu, saya bertanya pada sejumlah warga tentang sejarah masjid tersebut, namun mereka mengaku tidak tahu siapa perintis dan kapan pertama dibangun rumah ibadah itu. Salah seorang warga hanya mengatakan, “Mungkin nama Bujang Salim adalah nama pendiri masjid itu”.
Dua jam berlalu. Tepat pukul 12.00 WIB, saya kembali ke Masjid Besar Bujang Salim. Di ruangan sekretariat masjid sudah ada seorang pria. Namanya, H. T. Syamsul Bardi H. Abbas, Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM) itu. Ia tengah mengecek daftar undangan untuk rencana kegiatan masjid.
T. Syamsul Bardi mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah Masjid Bujang Salim. Ia hanya tahu, nama masjid itu adalah nama dari perintis berdirinya masjid. Ia lalu menelpon seseorang, menanyakan hal tersebut. Orang yang dihubungi memberi petunjuk tentang arsip berisi catatan sejarah Bujang Salim.
Tak lama, beberapa pengurus lainnya tiba di masjid ini, termasuk ketua pengurus harian, Tgk. Jalaluddin H. Ibrahim.
Dalam ruangan sekretariat masjid tersebut terpajang tiga gambar berbingkai. Salah satunya foto (almarhum) Tgk. Abu Bakar Bin Pang Risyad, ketua panitia pelaksana pembangunan saat masjid ini dilakukan renovasi ketiga. Dua lainnya foto-foto Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyerahkan bantuan genset otomatis kepada masjid tersebut, awal tahun 2013 lalu.
Arah lurus dari pintu masuk ruangan sekretariat itu, ada sebuah ruangan lainnya, ruangan Imum Chik Masjid. Di sini tampak beberapa gambar berbingkai, salah satunya tertulis, “Alm. Budjang Selamat (Teuku Rhi Budjang, teuku bujang”. Ia adalah perintis Masjid Bujang Salim. Yang lainnya foto Imum Chik Masjid dari yang pertama sampai ketiga yaitu Tgk. Puteh, Tgk. Puteh Bin Tgk. Adamy dan Tgk. Ramli Bin H. Ibrahim.
Ketika saya sedang mengamati foto-foto tersebut, azan pun berkumandang. Saya bersama sejumlah pengurus masjid dan jemaah lainnya kemudian salat Dhuhur berjemaah. Ada dua saf jemaah salat.
***
Teuku Rhi Budjang (Bujang) Selamat dikenal sebagai salah seorang perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia dari Aceh. Ia lahir pada tahun 1891 di Keude Amplah, Nisam, (dulu Naggroe Nisam), Aceh Utara. Ia salah satu putra Uleebalang Nanggroe Nisam.
Berdasarkan data dari arsip Masjid Besar Bujang Salim, dijelaskan bahwa pada tahun 1912, Bujang Salim menyelesaikan pendidikan kelas lima pada Kweekschool dan Osvia (sekolah Belanda) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Lalu ia dipanggil pulang ke Aceh, selama setahun tinggal di Kutaradja (Banda Aceh) untuk mempelajari dan mempraktekkan Tata Kepamong Pradjaan.
Setahun kemudian (1913), Bujang Salim ditunjuk menjabat sebagai Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam sampai tahun 1920. Selama menjabat, ia sering melakukan aktifitas di bidang politik dan keagamaan. Aktifitasnya itu mengundang kekhawatiran pihak Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.
Pada 8 Februari 1921, Bujang Salim dipecat dari jabatan itu dan diasingkan ke Meulaboh oleh Belanda. Pada 21 April 1922, ia dibuang ke timur Indonesia yaitu Meurauke. Selama di sana, Bujang Salim juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu.
Itu sebabnya, Bujang Salim lalu dibuang ke daerah Tanah Merah (Digul) pada 5 April 1935. Digul adalah tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan. Letaknya di dekat sungai Digul hilir, Papua.
Berikutnya, di masa serbuan Jepang, tepatnya 11 Mei 1942, Bujang Salim kembali diungsikan. Awalnya, ia diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah.
Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 1943.
Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.
Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama enam bulan.
Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara, tiba 20 April 1948.
Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang Salim akhirnya meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959. Ia dikebumikan di Krueng Geukuh, tepatnya belakang Masjid Besar Bujang Salim.
Arsip yang menjelaskan sejarah Bujang Salim ini disalin ulang oleh Mapilindo, cucu urutan ketiga.
***
Berdasarkan data lainnya dari dokumen Masjid Besar Bujang Salim disebutkan masjid ini dibangun sejak tahun 1923. Pembangunan masjid ini dirintis oleh salah seorang pahlawan rakyat Aceh yaitu Teuku Rhi Budjang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud.
Itu sebabnya, nama masjid ini diambil dari nama Teuku Rhi Budjang Selamat. Lantas mengapa Bujang Salim, bukan Bujang Selamat?
“Salim itu bahasa Arab, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, salim bermakna selamat. Makanya masjid ini diberi nama Masjid Bujang Salim,” Tgk. Zaunuddin Basyah, Imum Chik Masjid Bujang Salim kepada saya.[](iip)
MASJID itu indah dipandang luar dan dalam. Warna catnya tampak baru, ukiran kaligrafi di dinding bagian dalam sungguh menakjubkan. Di dalam masjid, seorang pria sedang mengepel lantai. Memakai kemeja kuning tua dan celana abu-abu, pria itu ialah petugas kebersihan.
“Pengurus masjid biasanya datang menjelang salat Dhuhur,” kata petugas itu kepada saya dari ATJEHPOSTcom saat menghampirinya, Selasa, 23 April 2013, pukul 10.00 WIB.
Masjid itu, Masjid Besar Bujang Salim, Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara yang mengadopsi Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Sembari menunggu pengurus masjid, saya memasuki salah satu warung kopi tidak jauh dari Masjid Besar Bujang Salim. Di warung kopi itu, saya bertanya pada sejumlah warga tentang sejarah masjid tersebut, namun mereka mengaku tidak tahu siapa perintis dan kapan pertama dibangun rumah ibadah itu. Salah seorang warga hanya mengatakan, “Mungkin nama Bujang Salim adalah nama pendiri masjid itu”.
Dua jam berlalu. Tepat pukul 12.00 WIB, saya kembali ke Masjid Besar Bujang Salim. Di ruangan sekretariat masjid sudah ada seorang pria. Namanya, H. T. Syamsul Bardi H. Abbas, Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM) itu. Ia tengah mengecek daftar undangan untuk rencana kegiatan masjid.
T. Syamsul Bardi mengaku tidak banyak tahu tentang sejarah Masjid Bujang Salim. Ia hanya tahu, nama masjid itu adalah nama dari perintis berdirinya masjid. Ia lalu menelpon seseorang, menanyakan hal tersebut. Orang yang dihubungi memberi petunjuk tentang arsip berisi catatan sejarah Bujang Salim.
Tak lama, beberapa pengurus lainnya tiba di masjid ini, termasuk ketua pengurus harian, Tgk. Jalaluddin H. Ibrahim.
Dalam ruangan sekretariat masjid tersebut terpajang tiga gambar berbingkai. Salah satunya foto (almarhum) Tgk. Abu Bakar Bin Pang Risyad, ketua panitia pelaksana pembangunan saat masjid ini dilakukan renovasi ketiga. Dua lainnya foto-foto Wakil Gubernur Aceh Muzakir Manaf atau Mualem menyerahkan bantuan genset otomatis kepada masjid tersebut, awal tahun 2013 lalu.
Arah lurus dari pintu masuk ruangan sekretariat itu, ada sebuah ruangan lainnya, ruangan Imum Chik Masjid. Di sini tampak beberapa gambar berbingkai, salah satunya tertulis, “Alm. Budjang Selamat (Teuku Rhi Budjang, teuku bujang”. Ia adalah perintis Masjid Bujang Salim. Yang lainnya foto Imum Chik Masjid dari yang pertama sampai ketiga yaitu Tgk. Puteh, Tgk. Puteh Bin Tgk. Adamy dan Tgk. Ramli Bin H. Ibrahim.
Ketika saya sedang mengamati foto-foto tersebut, azan pun berkumandang. Saya bersama sejumlah pengurus masjid dan jemaah lainnya kemudian salat Dhuhur berjemaah. Ada dua saf jemaah salat.
***
Teuku Rhi Budjang (Bujang) Selamat dikenal sebagai salah seorang perintis pergerakan kemerdekaan Indonesia dari Aceh. Ia lahir pada tahun 1891 di Keude Amplah, Nisam, (dulu Naggroe Nisam), Aceh Utara. Ia salah satu putra Uleebalang Nanggroe Nisam.
Berdasarkan data dari arsip Masjid Besar Bujang Salim, dijelaskan bahwa pada tahun 1912, Bujang Salim menyelesaikan pendidikan kelas lima pada Kweekschool dan Osvia (sekolah Belanda) di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Lalu ia dipanggil pulang ke Aceh, selama setahun tinggal di Kutaradja (Banda Aceh) untuk mempelajari dan mempraktekkan Tata Kepamong Pradjaan.
Setahun kemudian (1913), Bujang Salim ditunjuk menjabat sebagai Zelfbstuurdier Nanggroe Nisam sampai tahun 1920. Selama menjabat, ia sering melakukan aktifitas di bidang politik dan keagamaan. Aktifitasnya itu mengundang kekhawatiran pihak Belanda yang saat itu menjajah Indonesia.
Pada 8 Februari 1921, Bujang Salim dipecat dari jabatan itu dan diasingkan ke Meulaboh oleh Belanda. Pada 21 April 1922, ia dibuang ke timur Indonesia yaitu Meurauke. Selama di sana, Bujang Salim juga melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan bertentangan dengan perpolitikan Belanda ketika itu.
Itu sebabnya, Bujang Salim lalu dibuang ke daerah Tanah Merah (Digul) pada 5 April 1935. Digul adalah tempat pembuangan para pejuang kemerdekaan. Letaknya di dekat sungai Digul hilir, Papua.
Berikutnya, di masa serbuan Jepang, tepatnya 11 Mei 1942, Bujang Salim kembali diungsikan. Awalnya, ia diungsikan ke hutan Bijan, kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa pulang ke Tanah Merah.
Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas pemerintahan interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5 Juni 1943.
Akhir tahun 1945, pemerintah interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946.
Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian, anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan pada pemerintah Indonesia. Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama enam bulan.
Pada Maret 1948, ia ditangkap oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia dibawa ke Medan (Sumatera Utara, tiba 20 April 1948.
Pada Februari 1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang saat itu berada dalam Nanggroe Nisam. Bujang Salim akhirnya meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959. Ia dikebumikan di Krueng Geukuh, tepatnya belakang Masjid Besar Bujang Salim.
Arsip yang menjelaskan sejarah Bujang Salim ini disalin ulang oleh Mapilindo, cucu urutan ketiga.
***
Berdasarkan data lainnya dari dokumen Masjid Besar Bujang Salim disebutkan masjid ini dibangun sejak tahun 1923. Pembangunan masjid ini dirintis oleh salah seorang pahlawan rakyat Aceh yaitu Teuku Rhi Budjang Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud.
Itu sebabnya, nama masjid ini diambil dari nama Teuku Rhi Budjang Selamat. Lantas mengapa Bujang Salim, bukan Bujang Selamat?
“Salim itu bahasa Arab, jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, salim bermakna selamat. Makanya masjid ini diberi nama Masjid Bujang Salim,” Tgk. Zaunuddin Basyah, Imum Chik Masjid Bujang Salim kepada saya.[](iip)