Syiah yang Dilupakan
Syiah hadir di Nusantara sejak ribuan tahun lampau. Jejak sejarahnya bisa digunakan untuk meredam konflik Sunni-Syiah.
KETIDAKTAHUAN masyarakat terhadap sejarah dan ajaran Syiah dinilai berperan dalam menyulut bara konflik Sunni-Syiah di Indonesia hingga sekarang. Karena itu, bangsa ini mudah labil dalam menyikapi perbedaan dua aliran besar dalam Islam itu. Demikian dikatakan Husain Heriyanto, staf pengajar Universitas Indonesia, dalam International Conference on Historical and Cultural Presence of Shias in Southeast Asia, di Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada 21 Februari 2013.
Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. “Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi,” kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. “Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau.”
Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Ma’atenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. “Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya.”
Mencabik-cabik tubuh dengan benda tajam menjadi ciri tarian ini. Persis dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati peristiwa Karbala. Hingga kini tarian ini masih lestari. “Ajaran Syiah sudah menyatu dengan kebudayaan leluhur Islam Maluku,” kata Yance Zadrak Rumahuru, pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon. “Sayangnya, kontribusi ini kerap diabaikan.”
Pengaruh Syiah juga ditemukan di Sumatra. Mohammad Ali Rabbani, atase Kedutaan Besar Iran, menyatakan jejak peninggalan dari orang-orang India di Sumatra kental dengan pengaruh Syiah, misalnya Tabuk dan makam-makam bertarikh abad ke-17.
“Ini karena orang India yang datang ke Sumatra dipengaruhi Persia. Orang-orang itu menganut mazhab Syiah,” kata Rabbani. Sebaliknya, orang Persia dan India juga mengambil tradisi orang Sumatra. “Interaksi ini menguntungkan umat Islam. Satu bangsa saling mengambil manfaat dari bangsa lainnya.”
Di Aceh keadaannya agak berbeda. Penduduk di sana lebih dulu akrab dengan tradisi Persia. “Sebelum Syiah menjadi mazhab resmi di Persia, orang-orang Aceh telah bersentuhan dengan kebudayaan Persia,” kata Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh.
Karena itu, sulit membedah tradisi Syiah, Persia, dan Aceh. “Semua ini sudah diblender di dalam dayah(pesantren). Hasilnya dituangkan di luar dayah,” ujar Kamaruzzaman. Meski begitu, konflik berdarah Syiah-Sunni pernah terjadi di Aceh pada abad ke-17. Ini karena kelompok ekstrem dalam Sunni atau Syiah mendominasi Aceh kala itu.
Jejak sejarah Syiah yang panjang di Nusantara, menurut Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. “Sudah jelas bahwa Sunni-Syiah tak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Keduanya saling mempengaruhi.”
Ketidaktahuan itu tak hanya menimpa khalayak awam, tetapi juga pemuka agama. Kala budayawan Agus Sunyoto duduk di bangku pesantren, gurunya berpesan agar menjauhi ajaran Syiah. “Menurutnya Syiah itu anti-maulid, anti-wiridan, dan anti-ziarah. Padahal itu Wahabi,” kata Agus, penulis buku Atlas Wali Songo. “Keberadaan dan pengaruh Syiah telah mengakar di beberapa wilayah Nusantara sejak 1400 tahun lampau.”
Di Maluku Tengah, pengaruh ini terejawantah dalam bentuk tarian Ma’atenu. Tarian ini diperkenalkan masyarakat Hatuhaha. “Mereka komunitas muslim tertua di Maluku yang terbentuk sejak abad ke-8. Pemimpin mereka beroleh nasab dari Ali bin Abi Thalib. Karena itu, tarian ini ditujukan sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad, Ali, dan keturunannya.”
Mencabik-cabik tubuh dengan benda tajam menjadi ciri tarian ini. Persis dengan tarian dalam tradisi Syiah untuk memperingati peristiwa Karbala. Hingga kini tarian ini masih lestari. “Ajaran Syiah sudah menyatu dengan kebudayaan leluhur Islam Maluku,” kata Yance Zadrak Rumahuru, pengajar Sekolah Tinggi Agama Kristen Protestan Negeri (STAKPN) Ambon. “Sayangnya, kontribusi ini kerap diabaikan.”
Pengaruh Syiah juga ditemukan di Sumatra. Mohammad Ali Rabbani, atase Kedutaan Besar Iran, menyatakan jejak peninggalan dari orang-orang India di Sumatra kental dengan pengaruh Syiah, misalnya Tabuk dan makam-makam bertarikh abad ke-17.
“Ini karena orang India yang datang ke Sumatra dipengaruhi Persia. Orang-orang itu menganut mazhab Syiah,” kata Rabbani. Sebaliknya, orang Persia dan India juga mengambil tradisi orang Sumatra. “Interaksi ini menguntungkan umat Islam. Satu bangsa saling mengambil manfaat dari bangsa lainnya.”
Di Aceh keadaannya agak berbeda. Penduduk di sana lebih dulu akrab dengan tradisi Persia. “Sebelum Syiah menjadi mazhab resmi di Persia, orang-orang Aceh telah bersentuhan dengan kebudayaan Persia,” kata Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, pengajar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh.
Karena itu, sulit membedah tradisi Syiah, Persia, dan Aceh. “Semua ini sudah diblender di dalam dayah(pesantren). Hasilnya dituangkan di luar dayah,” ujar Kamaruzzaman. Meski begitu, konflik berdarah Syiah-Sunni pernah terjadi di Aceh pada abad ke-17. Ini karena kelompok ekstrem dalam Sunni atau Syiah mendominasi Aceh kala itu.
Jejak sejarah Syiah yang panjang di Nusantara, menurut Azyumardi Azra, guru besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, bisa dimanfaatkan untuk meredam konflik Sunni-Syiah. “Sudah jelas bahwa Sunni-Syiah tak lagi bisa dilihat secara hitam-putih. Keduanya saling mempengaruhi.”
HENDARU TRI HANGGORO