Perbedaan Antara Rokok dan Kretek Serta Sejarahnya


SEJARAH SINGKAT PENGGUNAAN TEMBAKAU



Nicotiana Tabacum (Nicotiana spp., L.) atau lebih dikenal sebagai tembakau (tobacco) ialah sejenis tumbuhan herbal dengan ketinggian kira-kira 1.8 meter (6 kaki) dan besar daunnya yang melebar dan meruncing dapat mencapai sekurang-kurangnya 30 sentimeter (1 kaki). Tanaman ini berasal dari Amerika utara dan Amerika Selatan. Kata tembakau berasal dari kata Tobago (bahasa Indian), yang artinya memutar daun tembakau untuk keperluan ritual dan pengobatan. Warga asli benua Amerika (Maya, Aztec dan Indian) mengisap tembakau pipa atau mengunyah tembakau sejak tahun 1000 SM.

Salah satu tempat yang diyakini sebagai asal muasal rokok (tembakau) adalah daerah Yukatan di Meksiko. Sejarah juga membuktikan, bahwa bangsa Maya di Amerika Tengah menggunakan tembakau ini. Sejarah mereka yang penuh dengan legenda dan mitos banyak dikaitkan dengan tembakau. Ajaran-ajaran kepercayaan mereka juga bersangkut-paut dengan tumbuhan tembakau, di mana asap tembakau dipercaya dapat melindungi mereka dari makhluk-makhluk halus yang jahat dan sebaliknya memudahkan mereka mendekati makhluk-makhluk halus yang baik.

Pada abad ke-16, bangsa Eropa memasuki benua Amerika. Dari sinilah, mereka mengenal rokok dan tembakaunya. Mereka mencoba-coba menggunakannya hingga menyebarluaskannya. Yaitu kru Columbus membawanya ke “peradaban” di Inggris dan perdagangan tembakau dimulai sejak saat itu, terutama tembakau Virginia dan masih eksis hingga detik ini. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual dan pengobatan, kala itu di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan dan status sosial. Abad 17 para pedagang Spanyol masuk ke Turki dan saat itu kebiasaan merokok mulai masuk ke bangsa-bangsa di Timur Tengah.


SEJARAH ROKOK KRETEK


Berdasarkan hasil penelusuran dari banyak blog dan situs2 terpercaya, saya menemukan tiga versi sejarah rokok kretek. Dan dalam tiga versi itu, hanya ada 3 tokoh yang disinyalir menjadi perintis terciptanya dan berkembangnya rokok kretek hingga sekarang menjadi salah satu industri raksasa di negeri ini dengan total omset lebih dari Rp 80.000.000.000.000 pertahun (baca:80 triliun).

Para tokoh itu adalah Haji Djamhari, Mbok Nasilah, dan Nitisemito. Tidak jelas siapa yang pertama kali menemukan, tapi yang perlu dipastikan adalah bahwa rokok kretek asli ciptaan orang Indonesia. Disini saya akan menggabungkan ketiga versi tersebut secara singkat.

Pada sekitar tahun 1870-1880an, di Kudus, Jawa Tengah, seorang Haji bernama Djamhari yang mengidap penyakit asma mempunyai kebiasaan mengoleskan minyak cengkeh pada dadanya. Seiring waktu, Haji Djamhari mempunyai pemikiran bahwa cengkeh yang dioleskan mungkin akan lebih terasa manfaatnya bila masuk ke dalam paru-paru.

Beliau kemudian mencoba meracik tembakau dengan dicampur rajangan cengkeh (ada versi yang menyebutkan pada awalnya Haji Djamhari bukan mencampur tembakau dengan rajangan cengkeh, tetapi mengoleskan dengan minyak cengkeh). Seiring waktu, ternyata penyakit asmanya berangsur-angsur membaik. Berawal dari inovasi pengobatannya inilah, Haji Djamhari memilih untuk menjadikannya bisnis rumah tangga. Menurut sejarah, beliau meninggal pada tahun 1890-an, hingga kini asal usulnya masih belum begitu jelas.

Di waktu yang sama, yaitu sekitar tahun 1870-an. Mbok Nasilah, seorang pemilik warung di Kudus, Jawa Tengah. Berusaha untuk mengalihkan kebiasaan "nginang" para kusir yang selalu membuat kotor warungnya. Beliau mencoba untuk mencampurkan cengkeh ke dalam tembakau dan menyajikannya sebagai rokok untuk pengganti kebiasaan "nginang". Campuran ini kemudian dibungkus dengan klobot atau daun jagung kering dan diikat dengan benang. Usahanya itu berhasil, rokok buatan Mbok Nasilah disukai oleh para kusir dokar dan pedagang keliling. Salah satu penggemarnya adalah Nitisemito yang saat itu menjadi kusir.

Nitisemito seorang buta huruf, putra Ibu Markanah di Desa Janggalan, Kudus, Jawa Tengah, dengan nama kecil Rusdi. Ayahnya, Haji Sulaiman adalah kepala desa Janggalan. Pada usia 17 tahun, ia mengubah namanya menjadi Nitisemito. Pada usia tersebut, ia merantau ke Malang, Jawa Timur, untuk bekerja sebagai buruh jahit pakaian. Usaha ini berkembang sehingga ia mampu menjadi pengusaha konfeksi. Namun beberapa tahun kemudian usaha ini kandas karena terlilit hutang. Nitisemito pulang kampung dan memulai usahanya membuat minyak kelapa, berdagang kerbau namun gagal. Ia kemudian bekerja menjadi kusir dokar sambil berdagang tembakau. Saat itulah dia berkenalan dengan Mbok Nasilah.

Nitisemito lantas menikahi Nasilah dan mengembangkan usaha tembakaunya menjadi usaha rokok cengkeh sebagai mata dagangan utama. Usaha ini maju pesat. Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok Cap Kodok makan Ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga. Lantaran gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito).

Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus, Jawa Tengah. Setelah 8 tahun beroperasi sejak sekitar tahun 1906-1908, Nitisemito mampu membangun pabrik besar diatas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis).

Sejarah mencatat di tahun 1938, Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari. Kemudian untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. Ia kreatif memasarkan produknya, misalnya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta. Bisa dikatakan langkah Nitisemito itu menjadi tonggak tumbuhnya industri rokok kretek di Indonesia.

Menurut beberapa babad legenda yang beredar di Jawa, rokok sudah dikenal sudah sejak lama. Bahkan sebelun Haji Djamari dan Nitisemito merintisnya. Tercatat dalam Kisah Roro Mendut, yang menggambarkan seorang putri dari Pati yang dijadikan istri oleh Tumenggung Wiroguno, salah seorang panglima perang kepercayaan Sultan Agung menjual rokok "klobot" (rokok kretek dengan bungkus daun jangung kering) yang disukai pembeli terutama kaum laki-laki karena rokok itu direkatkan dengan ludahnya.
*disunting dari berbagai sumber

Naahh.. Kalo diliat dari sejarah, pada awalnya rokok diciptakan sebagai pengobatan. Tapi kesini2nya kenapa rokok justru dibilang bisa membahayakan kesehatan? Oke, kita mengenal ungkapan "segala sesuatu yang berlebihan adalah tidak baik". Tapi gimana kalo saya hanya merokok 3 batang sehari, sama seperti minum obat, pagi satu batang, siang satu batang, dan malam satu batang. Apa itu bisa disebutkan sebagai baik untuk kesehatan? Ukuran darimana?

Tapi pada kenyataannya, ane sering ngeliat kakek2 dan nenek2 yg masih ngeroko. Dan mereka mengakui kalo kebiasaan merokok udah mereka lakuin dari remaja. Mungkin ada pakar kesehatan yg bisa jelasin hal ini? Merokok bisa membahayakan kesehatan, tapi kenapa para kakek2 nenek2 yg berumur 70 taun keatas masih ngeroko dan fine2 aja? Adakah kaitannya dengan rokok yg mereka konsumsi? apa krn rokok kretek lebih aman krn kandungan cengkehnya? Di luar negeri yg mayoritas penghisap rokok putih jg ada ko kakek2 dan nenek2 70 thn keatas yg msh sehat wal afiat. Jadi, apa benar rokok memang berbahaya? Lalu, mana yg lebih bahaya bila diliat dr berbagai sudut pandang? Rokok putih atau rokok kretek? (sumber: komunitaskretek.or.id)