Belenggu Sejarah Indonesia dalam Mitos-mitos Kolonial


Pada sebuah artikel, Onghokhman menulis The Myth of Colonialism in Indonesia: Java and the Rise of Dutch Colonialism, tulisan ini memberikan beberapa renungan kepada kita, terutama mengenai sejarah bangsa yang sangat memprihatinkan. Banyak intrik-intrik yang disebut dengan mitos, sesuatu yang belum pasti kebenaranya, hidup dengan subur di dalam sejarah bangsa Indonesia, salah satunya karena faktor rezim yang berkuasa di Indonesia. Mitos-mitos kolonialisme ini secara tidak langsung telah menciutkan mentalitas bangsa Indonesia. Salah satu mitos kolonial yang tumbuh subur adalah penjajagan di Indonesia berlangsung selama 350 tahun. Yang menarik untuk dikaji adalah sejak kapan mitos-mitos lahir dan bagaimanakah perkembanganya sehingga dapat dengan sangat subur sampai sekarang ini?
Kolonialisme di Indonesia adalah salah satu komponen yang tidak bisa dilepaskan dalam sejarah Indonesia. Dalam mindset rakyat Indonesia kolonialisme itu berlangsung 350 tahun. Periodisasi penjajahan ini perlu kita kritisi melalui studi sejarah kritis, karena berbicara sejarah tanpa sumber dari fakta dan data yang reliabel dan valid, bagaikan paranormal. Kedatangan Belanda di Nusantara terjadi pada tahun 1595 di Banten yang dipimpin oleh Cournelis de Haoutman. Kedatangan mereka pada awalnya adalah untuk berkunjung dan berdagang, belum ada niat untuk mengekploitasi. Banten kemudian berkembang menjadi pusat perdagangan dari berbagai negara, seperti: Cina, Arab, Persia, Moor,Turki, Malabar, Peguan, dengan hasil utamanya adalah lada. Empat tahun kemudian, orang-orang Belanda kembali lagi ke Banten. Atas usulan Johan Van Oldenbarneveld dibentuklah Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tanggal 20 Maret 1682. Tujuannya adalah menghindarkan persaingan antar pengusaha Belanda (intern) serta mampu menghadapi persaingan dengan bangsa lain terutama Spanyol dan Portugis sebagai musuhnya (ekstern). Namun, di dalam tubuh VOC terjadi: a). Kesulitan keuangan karena korupsi, banyaknya biaya untuk menggaji pegawai, membayar deviden dan menghadapi peperangan di berbagai daerah; b). Menghadapi persaingan perusahaan dagang asing; c). Berdirinya Republik Bataaf yang menghendaki perdagangan bebas bukan monopoli, maka pada 31 Desember 1799 VOC dibubarkan. Dengan bangkrutnya VOC, wilayah Nusantara diambil alih oleh pemerintahan Belanda dan sejak saat itu menjadi “milik Belanda di Hindia” yang disebut indies Belanda. Maka, salah jika Belanda itu melakukan kolonialisasi selama 350 tahun, semua itu hanya mitos belaka, karena jika kita lihat dari selang waktu antara 1942 dengan 1799 adalah 143 tahun, dan itu pun hanya berlaku di Jawa saja. Lantas, bagaimana dengan luar Jawa, apakah kolonisasi juga berlangsung 350 tahun?
Ekspansi yang dilakukan Belanda di luar Jawa sering mengalami perlawan dari masyarakat sekitaranya, seperti di Minangkabau. Belanda mengalami perlawanan dengan kaum Padri yang disebut dengan Perang Padri yang berlangsung 1821-1845. Selain itu, wilayah Aceh bisa ditaklukan Belanda setelah 25 tahun dari tahun 1871, dan daerah-daerah lain di luar Jawa baru bisa dikuasi Belanda pada abad ke-XIX sampai abad ke-XX. Maka, jelaslah bahwa 350 tahun kolonisasi berlangsung adalah mitos belaka, di Minangkabau hanya berlangsung 97 tahun, di Aceh hanya berlangsung 46 tahun.
Hal yang menarik lainnya, ternyata mitos-mitos ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah Belanda saja, tetapi dari para priyayi Jawa juga mendukung mitos tersebut. Hal ini karena motif sosial-politik-ekonomi. Di Jawa kita tahu bahwa stratifikasi sosial sangat kental, stratifikasi berdasarkan keturunan dan berdasarkan kekayaan. Priyayi di Jawa berfungsi sebagai katalisator antara Belanda dan rakyat Hindia, maka priyayi punya hak-hak istimewa. Jadi tidak salah, jika priyayi sangat mendukung mitos tersebut agar posisi mereka aman, baik dari sisi sosial-politk-ekonomi. Selain itu, kedudukan priyayi sangat mendukung Belanda dalam menguasi Jawa. Hal ini karena Jawa adalah pulau besar di nusantara yang bisa mendukung perekonomian Belanda dengan produk pertanian dan pajak. Populasi petani selama berabad-abad digunakan untuk menarik pajak (upeti) dan konsep kerja rodi yang dibutuhkan untuk mengembangkan perkebunan kolonial, seperti yang diuangkapkan oleh H.J. de Graaf yang mengatakan bahwa itu adalah sebuah sistem tidak ada pajak, tetapi pendapatan lebih dari perbendaharaan kolonial. Tidak ada pajak berarti buruh rodi tidak dibayar upah karena upah dihitung terhadap pajak tanah. Seluruh sistem upah dan pajak tanah karena itu untuk memenuhi kebutuhan yang semakin besar untuk tenaga kerja. Pemerintah kolonial menjadikan desa sebagai unit politik dan administratif terendah, dinyatakan memiliki semua tanah. Pemerintah menerapkan prinsip raja memiliki seluruh negeri, dan diterjemahkan ke kepemilikan tanah Negara.
Jika kita mengkritisi latar belakang mitos ini sampai sekarang mengakar kuat, maka kita perlu mencermati bersama beberapa kebiasaan, manakala ada pidato-pidato resmi dari berbagai pejabat dari daerah maupun pusat, buku-buku pelajaran yang berkembang dari tingkat bawah sampai atas menyebutkan durasi era kolonial adalah 350 tahun. Meminjam istilah W. den Boer bahwa suatu gambaran sejarah yang dibentuk oleh para sejarawan, bilamana oleh generasi yang berpengaruh diawetkan menjadi mumi, akan sangat membahayakan. Maka, jelaslah bahwa mitos ini bisa berkembang pesat karena rezim yang berkuasa menggunakan mitos ini sehingga perlu adanya dekontruksi dan penulisan ulang terhadap sejarah Indonesia. Apa tujuan dari adanya mitos itu terus dikembangbiakan?

Raffles, Thomas Stamford, The History of Java, a.b. Hamonagan Simanjuntak dan Revianto B. Santosa, The History of Java, (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 504.