Silahkan Dibaca Agar Paham Agama jangan sibuk sama dunia
Sombong!”. Begitulah kiranya ketika setiap kita merasa punya upaya untuk menurunkan angka kekejian dan kemunkaran di muka bumi ini. Berandai-andai tentang sebuah kehidupan dunia yang tanpa kemunkaran. Bahwa nanti akan ada kehidupan yg damai, tenang, islami, gemah ripah loh jenawi, toto tentrem kerto raharjo. Apa benar manusia cukup punya daya untuk bisa menghapuskan bahkan sekedar menekan laju kekejian dan kemunkaran? Ah, mimpi kali yee…
Nabi Muhammad SAW, junjungan dan rahmat bagi seluruh alam, yang menerangi kegelapan dan kebodohan, serta penyempurna akhlak manusia, apa bisa melakukan itu? Sekali lagi, apa beliau bisa melakukan itu (menghapuskan bahkan sekedar menekan laju kekejian dan kemunkaran) di bumi ini ? Jika dijawab bisa, berarti Nabi itu Tuhan.
Seringkali, di setiap khutbah dan ceramah yang disampaikan oleh para ustadz di majelis2 bahwa “Nabi Muhammad SAW adalah seorang Nabi yang membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang seperti sekarang ini, Minadz dzulumaati ilan Nuur…?” .
Mereka seringkali berapologi bahwa seorang Nabi adalah penyempurna akhlak, sehubungan dengan ucapan Nabi sendiri yang termaktub dalam Hadits shahih; “Aku dibangkitkan ke dunia ini adalah untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak (manusia)”. Belum lagi tentang kisah2 heroik seorang Nabi ketika menegakkan panji2 kebenaran, menyebarkan Islam di segala lini sosial, mengajarkan dan mengajak bertauhid kepada para raja dan pemimpin dunia. Dan kisah2 kebaikan, serta islami lainnya, yg menunjukkan bahwa seorang Nabi, yang manusia biasa dan mengalami proses2 sebagai manusia, yang lahir – tumbuh – dan mati, melalui pengagungan total dan meniadakan kesalahan sebagai seorang manusia hingga nol persen, hampir2 beliau kita pandang menjadi Tuhan. Tanpa sadar kita telah menggiring level kenabian itu kepada level yang sifat-sifat kemakhlukannya sirna mutlak atau hapus total.
Ternyata persepsi yang demikian itulah yang membuat orang di zaman sekarang ini, yang gak pernah lihat jasad nabi, yang gak pernah mengerti tentang hakikat kenabian, yang seharusnya perlu banyak belajar tentang hakekat kebenaran, berbuat gila, habis-habisan, mati-matian, melawan, meredam, bahkan bermimpi menghapuskan segala macam bentuk kekejian dan kemunkaran di muka bumi ini. Persepsinya telah menjadi dogma dan memotivasi setiap tindakan yg dikatakannya sebagai perintah Nabi, perintah Rasulullah, bahkan perintah Allah.
Coba perhatikan fenomena2 penyimpangan sosial di zaman sekarang, mulai dari bunuh diri, aborsi, menjual dan membunuh balita kandung, pencurian dengan aneka modus dari maling ayam hingga korupsi berkelas, pornografi dan pornoaksi, peperangan tanpa alasan jelas, penyimpangan prilaku seks, penyimpangan dan penyalahgunaan obat2an dan makanan, dan seterusnya, dan seterusnya….
Pertanyaannya sekarang; fenomena penyimpangan itu makin berkurang, tetap, atau makin bertambah? Jika dihitung sejak zaman Nabi Muhammad SAW lahir itu dikatakan sebagai awal munculnya cahaya, semestinya cahaya itu sudah total saat ini. Lho, kan sudah sekitar 15 abad? Mestinya sudah total, gak ada lagi maksiat, kekejian dan kemunkaran. Tapi faktanya?!
Gak usahlah jauh-jauh hingga ke zaman sekarang, beberapa puluh tahun setelah Nabi wafat saja sesama umat Islam saling bertikai kok. Perang dan bunuh-bunuhan, hingga keluarga Nabi terbunuh. Sayyidina Hasan, ra dan Sayyidinaa Husein, ra., kedua cucu Nabi itu dibunuh, di depan publik, di tengah2 ramainya dan semakin menyebarnya Islam. Para tokoh yang bertikai itu, barangkali, adalah orang-orang yang pernah mendengar langsung suara Nabi, melihat langsung wajah Nabi, dan bahkan menerima langsung dari Nabi tentang ajaran dan pendidikan Islam. Sebuah Ironi?!
Lalu, jika seperti itu keadaannya, apakah seorang Nabi yang merupakan utusan Tuhan telah mengalami “kegagalan” dalam mempersiapkan kader-kader penerus Islam? Atau tidak berniat mempertahankan kelanggengan agama Islam dengan mempersiapkan generasi-generasi penerus yg mewarisi cahaya kenabian? Atau memang para Sahabat pasca wafatnya Nabi telah mengalami kesalahan dalam menginterpretasikan pesan-pesan kenabian dan ajaran-ajaran Islam? Pertanyaan-pertanyaan yg menggelitik benak kita itu seolah membuka ruang dalam jiwa kita untuk “berontak” lebih keras dan menyelam lebih dalam tentang kebenaran Tuhan yg berada di balik peristiwa2 yg dialami umat Islam pasca kenabian. Kita sama2 sadar bahwa “kegagalan” Nabi dalam berdakwah artinya adalah juga “kegagalan” Tuhan. Mungkinkah?
Bahwa Islam pernah berjaya ketika kekhalifahan Bani Umayyah dan mencapai kegemilangan pada masa Turki Utsmani hingga menguasai daratan Eropah, namun itu bukan lahir dari orang2 yg justru berada di pihak terkuat dan terdekat dengan Nabi. Mereka yg membawa Islam mengalami kegemilangan justru berasal dari keturunan orang2 yg notabene penentang bahkan disinyalir sebagai dalang terbunuhnya kedua cucu Nabi, Sayyidina Hasan, ra dan Sayyidina Husein, ra. Mereka bahkan membenci para keluarga Nabi yg disebutnya sebagai kaum Rafidhah. Bahkan para Tabi’it tabi’in dan Ulama pada zaman itu sangat phobia terhadap kaum Rafidhah karena takut terhadap pihak pemerintahan kerajaan. Aneh bukan?!!!
Bahkan pada saat terjadi fitnah kubro, Islam terpecah menjadi aliran-aliran teologis, membentuk faksi-faksi yang satu sama lain saling mengkafirkan. Masing-masing membawa klaim sebagai aqidah Islam yang paling benar. Ucapan-ucapan melakukan sesuatu tindakan untuk bertikai “karena Allah” menjadi sangat mudah dan murah. Melegitimasi kalimat “takfir” kepada sesama sahabat Rasul. Apa sih yang sebenarnya terjadi? Karena infiltrasi Yahudi? Lha, kalau memang benar, mengapa para sahabat Nabi begitu mudah diprovokasi? Mengapa? Ada apa?
Saya tidak ingin mengulas sejarah yang sangat rentan campur tangan politik dan kepentingan penguasa. Karena realitas sejarah adalah subyektifitas penguasa. Banyak ahli sejarah yang pada akhirnya berkesimpulan bahwa “tulisan” sejarah adalah produk politik. Bukan pada peninggalan atau tanda-tanda sejarah (arkeologi) yang banyak dicampur dengan urusan-urusan poltik, tetapi jalan cerita sejarahnya dan tulisannya yang kemudian menjadi cerita yang seolah hidup dan diyakini peristiwanya. Fakta sejarah yang sebenarnya menjadi rahasia Tuhan sepanjang zaman.
Sekilas, cerita di atas memaparkan sebuah skeptisisme umat Islam masa kini yang dengan segala macam eksperimen berusaha membuat sebuah format untuk menerapkan Islam menjadi system social yang otentik sesuai tuntutan Qur’an dan Hadits. Mereka secara serampangan mengklaim tentang sebuah ajaran Islam yang murni. Lantas dari mana rujukan kemurniannya? Parameter kemurnian Islam itu di sisi mana?
Selain itu, di pihak lain sebagian orang berspekulasi untuk membuat sebuah kajian yg mengadopsi sebagian pendapat barat dengan mengatakan bahwa konsep itu sesuai dengan atau minimal tidak bertentangan dengan Islam. Mereka juga mengklaim bahwa pemikiran tersebut dikatakan sebagai bentuk atau corak dari peradaban Islam. Bahwa peradaban Islam yang dimaksud itu bercorak “Timur Tengah” dengan ke-Arab-annya. Benarkah bahwa Islam = Arab? Benarkah berbahasa, berpakaian, berpenampilan dan bertingkah laku seperti orang Arab itu disebut sebagai islami? Semakin sering beribadah, semakin seperti orang Arab.
Saya pikir, semua umat Islam mesti kembali kepada konsep dasar tentang makna terjadi dan tertulisnya peristiwa sejarah dalam kehidupan umat Islam sepanjang abad. Banyak ulama yg tidak berani merunut peristiwa-peristiwa yg terjadi di awal-awal kekhalifahan Islam atau pasca wafat Rasulullah saw, terutama ketika masa terbunuhnya Sayyidina Utsman bin Affan yang disebut sebagai fitnah kubro. Mereka mengatakan ; “Haa huwa” (begitulah yg terjadi). Ungkapan apa ini ?
Jika di zaman sekarang, kita sering disuguhkan dengan cerita-cerita Islami yang konon itu benar-benar murni dari sejak zaman nabi, lalu hal apa yang menjamin bahwa kemurnian kisah itu memang benar-benar murni secara faktual. Sedikit saja “kepleset” dalam menyajikan fakta lewat tulisan, maka asumsi orang di kemudian hari juga akan “kepleset”. Klaim terhadap “kebenaran Islam” secara “membabi buta” justru telah menjumudkan pandangan dari kejernihannya. Saya tidak mengajak para orang Islam untuk keluar dari keyakinan tentang sejarah (tarikh) Islam itu sendiri dengan sikap-sikap landai, tidak tegas, dan toleran.
Maksud saya begini lho say, referensi Islam sebagai agama yang damai, murni, dan benar adanya justru telah mengkaburkan cara pandang yang benar akan kemurniannya jika tulisan sejarah yang menjadi referensi keislaman itu sendiri telah terdistorsi. Sejauh mana system-sistem sosial yang dibangun oleh Islam itu memang benar-benar “hygnies” seperti yang diajarkan Rasulullah sendiri.
Bicara kemurnian tidak gampang lho! Artinya, kebenaran Islam sebagai agama itu harus komprehensif, tidak ujug-ujug datang sendiri melalui cara-cara yang tidak lazim (khariqul ‘adah) atau tidak melalui asimilasi budaya yang memang sudah hidup pada saat Rasulullah masih hidup. Mengapa begitu? Sebab hal ini menyangkut kemurnian Islam yang sering didengungkan untuk melegitimasi sebuah tindakan-tindakan yang justru rentan penyimpangan dan kontradiksi dari kemurnian itu sendiri.
Sejarah (tarikh) Islam memaparkan kepada kita bahwa kemelut yang terjadi pada term kekhalifahan Sayyidina Ali sungguh berpengaruh besar secara aqidah murni yang diajarkan Nabi. Munculnya kelompok-kelompok teologi Islam saat itu sungguh bukanlah hal yang secara seporadis muncul begitu saja. Di sisi ini saja, kajian historis tarikh Islam itu menjadi gamang untuk dijadikan rujukan otentik Islam saat ini.
Ketika saya membaca buku sejarah Islam, saya harus melihat dulu siapa penulisnya, di mana kajian sejarahnya dititik beratkan, buku mana saja yang dijadikan referensi tulisannya. Wah, ini yang membuat kita tidak bisa bersikap obyektif jika hanya mengandalkan referensi-referensi dari hanya sekedar buku. Sebab kita bicara soal kemurnian Islam. Lalu siapa yang bisa menjamin sebuah ajaran Islam yang murni. Lha wong, pertikaian pada saat itu sangat-sangat politis. Ini kok malah kita klaim bahwa ajaran Islam yang saya pahami berdasarkan teologi tertentu itu sangatlah murni. Dasar kemurniannya apa? Jaminannya apa?
Jika kita mencari kemurnian Islam itu mengandalkan dari tulisan-tulisan sejarah, saya malah khawatir akan terjebak kepada kesalahan interpretasi dari ajaran yang seharusnya murni. Bukan al-Qur’an atau Haditsnya yang tidak murni, tetapi interpretasi yang direferensikan dari aktor-aktor sejarah yang menuliskan kemurnian sejarah itu sendiri yang telah terdistorsi. Sebab, al-Qur’an yang suci dan al-Hadits yang murni justru sering dijadikan media pembenar akan sebuah tindakan yang tidak murni. Berbuat baik tetapi bertujuan tidak baik. Al-Qur’an dan al-Hadits diplintir kemurniannya untuk mempolitisasi sebuah tindakan.
Pada akhirnya, kembali kepada diri sendiri itu adalah sebuah ide yang sangat bijak. Bahwa Islam harus “diteropong” dengan kacamata hati nurani. Cara menelaah sejarah (tarikh) harus dikritisi dengan hati. Memahami sesuatu harus dengan kejernihan akal pikiran. Semua itu harus dimunculkan dengan metode inquiry, memunculkan otokritik dan mencari jawabannya sendiri. Dari situlah bangunan kemantapan iman bisa di dapat. Bahwa Islam sebagai system hidup individual dan social memang benar-benar bisa dirasakan, bukan sekedar semangat membabi buta yang justru menjauhkannya dari kemurnian. Islam itu adalah spiritualisme yang hidup di semua bentuk kehidupan pribadi dan social. Ia bukanlah representasi arabisme yang menjadi mercusuar bangsa-bangsa di dunia, meski Arab itu sendiri meyakini Islam sebagai system sosialnya. Namun, meyakini Islam sebagai system social tidak serta merta menjadikan bangsa Arab identic dengan Islam. Semoga bermanfaat ! wallaahu muwaffiq ilaa sabiilit taufiiq.
alHajj Ahmad Baihaqi
alHajj Ahmad Baihaqi