Tgk Abdul Aziz, Tokoh Pengkaderan Ulama Aceh


Jika kita bepergian ke seluruh penjuru tanah Aceh, maka salah satu fenomena yang cukup mengejutkan adalah banyaknya dayah yang memakai kata “Al-Aziziyyah.”  Hari ini jumlah dayah yang memakai nama tersebut sudah mencapai ratusan dan dapat dipastikan santrinya mencapai ribuan orang. Jejaring “Al-Aziziyyah” sudah mencuat, . Karena itu, bagi siapa pun yang memakai Al-Aziziyyah,  dipandang sebagai sebuah keluarga besar masyarakat dayah pada era kontemporer di Aceh.

Tidak banyak yang mengetahui bahwa usaha kaderisasi dayah yang dilakukan oleh Tgk H Abdul Aziz Samalanga  ini telah berhasil menempatkan beberapa alumninya, tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga menjadi birokrat dan teknokrat di Aceh. Tentu saja kita harus mencari siapa sosok dibalik kesuksesan pembinaan pengkaderan  dayah di Aceh yang telah tersebar di seluruh penjuru Aceh. Tidak hanya itu, beberapa alumni yang memakai nama “Al Aziziyyah” tersebut  juga tersebar di beberapa negara.

Usaha tersebut ternyata dilakukan oleh seorang ulama kharismatik Aceh yaitu Tgk. H  Abdul Azis. Dari nama beliaulah kemudian muncul laqab al-Aziziyyah. Tidak banyak masyarakat Aceh yang mengenal ulama dari Samalanga ini.  Pada  9 Jumadil Akhir 1434H/20 April 2013 M,  alumni al-Aziziyyah selalu memperingati haul pendiri dayah ulama kharismatik tersebut.

Bagi warga sekitar, Tgk Abdul Azis lebih dikenal dengan sebutan Abon Mudi Mesra. Sesuai tradisi masyarakat Aceh, mereka lebih senang memperingati hari kewafatan ulama, ketimbang memperingati hari kelahirannya.

Abon Mudi Mesra telah meninggalkan kita selama 24 tahun.  Sepanjang hayatnya Abon telah menyebarkan ilmu  melalui pendidikan dayah. Adapun nama dayah induknya adalah Dayah Mahadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudimesra), Samalanga. Ulama besar ini lahir di Kandang Samalanga  pada 1930. Dia adalah putra dari pasangan Tgk Muhammad Saleh dan Tgk Halimah. Menurut cerita, sejak kecil Tgk H Abdul Aziz  telah ditempa ilmu agama oleh  orang tuanya yang juga pimpinan dayah Darul ‘Atiq, Janggot Sungko,  Jeunib.

Hampir seluruh hidup  Abon tidak dapat dilepaskan dari dunia dayah. Hal ini terbukti, misalnya, pada tahun 1946  Tgk Muhammad Saleh menitip Azis kecil pada temannya Tgk H Hanafiah (Tgk Abi) di Dayah Mahadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (Mudimesra) Samalanga. Selanjutnya, pada tahun 1948 pindah ke Dayah Tanjongan di bawah bimbingan Tgk H Idris Tanjongan. Berikutnya, pada tahun 1949 kembali lagi ke Dayah Mudi Mesra Samalanga. Dalam usia yang masih relatif muda,  pada tahun  1951 Azis telah berusia 21 tahun,  melakukan perjalanan intelektual (meudagang) ke dayah Darussalam Labuhan Haji yang dipimpin oleh Teungku Syeikh Muhammad Wali Al Khalidi.

Menurut sejarah, ketika menuntut ilmu di  Labuhan Haji, Azis memfokuskan diri belajar ilmu mantik, ushul-fiqih, bayan, ma’ani, dan ilmu  lain, langsung di bawah bimbingan Teungku Syeikh Muhammad Wali Al Khalidi. Sehingga Tgk H Abdul Aziz menjadi murid pertama dari Bustanul Muhaqqiqin, sebagai program khusus dari Teungku Syeikh Muhammad Wali Al Khalidi bagi muridnya yang akan menyelesai proses “beut seumeubeut” di dayahnya.  Tgk H Abdul Aziz mendapat  gelar Al Mantiki dari gurunya Teungku Syeikh Muhammad Wali Al Khalidi,  karena  kemampuan daya serap ilmu yang amat tinggi,  khususnya  ilmu-ilmu logika yang dikenal dengan istilah ilmu mantik.

Akhirnya, pada tahun 1958,  Tgk H Abdul Azis pulang ke Samalanga dan menikahi anak gurunya Hj Fatimah binti Hanafiah. Setelah berkeluarga, sebagaimana tradisi dayah sebagai anak muda yang cerdas dan alim,  Abdul Azis  langsung diserahi tugas memimpin dayah. Dalam hal ini,  Tgk H Abdul Aziz  menggantikan  kepemimpinan Dayah Mudi Mesra Samalanga,  karena Tgk  H Hanafiah (Tgk Abi) wafat. Segera setelah memimpin tampuk dayah Tgk H Abdul Aziz. sangat  waswas terhadap kondisi masyarakat Aceh yang terus didera konflik. Bahkan banyak ulama menjadi korban, sejak masa perang dengan Belanda, Jepang, perang kemerdekaan, konflik sosial, sampai dengan pemberontakan DI/TII. Salah satu program Tgk H Abdul Azis  adalah mendidik kader-kader ulama Aceh untuk menghidupkan kembali dayah dayah di Aceh yang telah banyak telantar dan selalu mengingatkan muridnya untuk “beut dan seumeubeut” agar keberadaan dayah sebagai “polisi moral” dalam masyarakat tetap terpelihara.  Tgk H Abdul Aziz kemudian   menuntut muridnya disiplin belajar dan tidak diizinkan nyantri sambil bersekolah, karena akan menggangu proses “beut seumeubeut” di dayah. Tgk H Abdul Aziz. sangat mengharapkan murid muridnya pada saat kembali ke kampung masing masing,  minimal  dapat mendirikan “balee seumeubeut”.  Kini, dia  telah meninggalkan murid-muridnya 24 tahun yang lalu, namun  dayah-dayah salafi tumbuh bagai jamur di Aceh. Itu sebabnya,  tidak mengherankan jika kita sering menemukan kata   “Al-Aziziyyah” di belakang nama dayah yang didirikan oleh  murid muridnya. Menurut laporan database  alumni, lebih dari 217 dayah “Al Aziziyyah” bertebaran di seluruh Aceh dan luar Aceh.

Disamping Tgk H Abdul Aziz berkonsentrasi dalam program pengkaderan ulama Aceh, dia    juga memberikan contoh yang baik bagi murid muridnya untuk  peduli terhadap lingkungan, sehingga ada “kepekaan sosial” dalam hidup bermasyarakat. Makanya Tgk H Abdul Aziz proaktif dalam kegiatan sosial ekonomi masyarakat seperti memprakarsai penggarapan sawah telantar di kawasan Samalanga, dan pembangunan jalan menuju kebun kebun rakyat  Glee Meundong Samalanga.

Pada tahun 1981,  Tgk H Abdul Aziz  juga pernah ditahan bersama Tgk H Dahlan Mns Subung Samalanga, Tgk H syakwab Kp Baru Samalanga,  Tgk H Djalaluddin (adik iparnya),  karena dituduh turut membantu Hasan Tiro dan Gerakan Aceh Mardeka yang yang pada saat itu dikenal dengan GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro). Namun kemudian Tgk H Abdul Aziz dilepaskan setelah dipaksa mendukung  kemenangan Golkar di Aceh.

Cerita ini memperlihatkan bagaimana penguasa menjadikan ulama Aceh sebagai bagian dari alat propaganda pemerintah, baik dalam menyukseskan kemenangan partai politik tertentu maupun menyukseskan  program-program pemerintah yang memerlukan “stempel” dari ulama.

Pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409 H/17 Januari  1989 M, Tgk H Abdul Aziz  kembali keharibaan-Nya dalam usia 58 tahun, dengan meninggalkan empat orang anak, yaitu  Hj Shalihah, Hj Suwaibah (alm), Syarwani (alm),  H Athaillah, dan Hj Mashithah.  Tgk H Abdul Aziz   berpesan kepada murid muridnya serta masyarakat Aceh untuk tetap menjaga ahlusunnah waljamaah sebagaimana diwariskan oleh ulama ulama Sunni  sejak zaman kerajaan Aceh. Sepeninggal Tgk H Abdul Azis,  kepemimpinan  Dayah Mahadal Ulum Diniyah Islamiyah dipercayakan kepada Tgk Syeikh H Hasanul Basri HG yang sekarang dikenal dengan panggilan “Abu Mudi”

Akan tetapi,  terlalu singkat waktu  bagi kita untuk mengetahui biografi Tgk H Abdul Aziz yang telah meninggalkan kita hampir seperempat abad. Namun,   karyanya  melalui pengkaderan ulama telah menunjukkan hasil yang amat membanggakan. Hari ini, murid dan santri yang pernah belajar langsung pada Tgk H Abdul Aziz juga telah menjadi ulama kharismatik di Aceh. Agaknya tidak berlebihan jika Tgk H Abdul Aziz  ini dianugerahi  gelar sebagai tokoh  pembaharu pengembangan dunia dayah di Aceh. Inilah sebutan yang paling pantas bagi Tgk H Abdul Aziz setelah setengah abad  mencurahkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk menerangi umat.

M Adli Abdullah
* Penulis adalah dosen fakultas hukum Unsyiah, dan pembina dayah Najmul Hidayah al Aziziyah Mns Subung Cot Meurak Samalanga. Email: bawarith@gmail.com