Tiga Variasi yang bisa di coba dalam berhubungan suami istri dalam Islam




Bismillahir-Rahmanir-Rahim ..
Ada banyak hal yang perlu dipelajari dan diamalkan secara seksama oleh pasangan suami istri agar meraih ketentraman (sakinah), cinta (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah), baik lahir maupun batin. Salah satunya –dan yang paling penting– adalah persoalan hubungan intim atau dalam bahasa fiqih disebut jima’.
Sebagai salah tujuan dilaksanakannya nikah, hubungan intim –menurut Islam– termasuk salah satu ibadah yang sangat dianjurkan agama dan mengandung nilai pahala yang sangat besar. Karena jima’ dalam ikatan nikah adalah jalan halal yang disediakan Allah untuk melampiaskan hasrat biologis insani dan menyambung keturunan bani Adam.

Sebagaimana Syaikh Dr Abdul Karim Asy Syadzili dalam Juru’at Minal Hub (Tamasya di Ranjang Asmara) menjelaskan setidaknya ada tiga hal yang perlu mengalami perubahan dalam hal berhubungan suami istri yaitu.
Tempat
Memilih tempat yang nyaman adalah salah satu yang diperlukan dalam berhubungan suami istri. Selama ini mungkin kita hanya membatasi tempat bercinta pada kamar tidur. Ini hal yang paling umum dan tidak ada yang salah. Namun, mengubah tempat, sesekali diperlukan sebagai bentuk variasi.
Anda bisa membuat kesepakatan dengan pasangan agar dapat menciptakan suasana baru, merancang  pengalaman baru dan melahirkan sensasi baru.
Untuk menciptakan suasana baru, tidak salahnya anda Pindah ke kamar anak-anak ketika mereka tidak sedang ada di rumah, ini bisa menjadi salah satu pilihan. Asalkan tidak meninggalkan bekas yang mencurigakan di sana.
Sebagaimana yang disaran oleh Syaikh Dr Abdul Karim Asy Syadzili bahwa dapur ataupun ruang tamu bisa juga sebagai tempat alternatif. Hal ini Tentu saja, harus diperhatikan faktor keamanan, kenyamanan, dan adabnya.
Untuk mencairkan suasana baru dalam berhubungan suami-istri seperti halnya pengantin baru yang sedang berbulan madu, tidak salahnya anda sesekali untuk mencoba menyewa kamar hotel. tentu saja alternatif ini akan memerlukan kantong yang tebal.
Waktu
Dalam berhubungan suami istri tidak mesti pada malam hari. Meskipun berdasarkan waktu terbaik hasil kompromi penelitian medis dan pandangan Islam adalah pukul 20.00-22.00 WIB, seluruh waktu bisa dimanfaatkan untuk melakukannya. Tentu dengan tidak melupakan faktor terhambatnya ibadah dan kenyamanan. Waktu adzan misalnya, sebaiknya dihindari agar tidak terlambat shalat berjamaah.
Al Qur’an sendiri mengisyaratkan banyak waktu yang bisa menjadi dimanfaatkan. Ketika menafsirkan Surat An Nur ayat 58, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa tiga waktu yang disebutkan dalam ayat itu (sebelum shalat Subuh, tengah hari dan setelah shalat Isya’) adalah waktu –waktu yang disukai para sahabat untuk bercinta.
Posisi dan Gaya
Surat Al Baqarah ayat 223 memberikan ruang kebebasan kepada suami istri untuk tidak hanya terpaku pada satu posisi dan gaya. Istri diibaratkan seperti tanah tempat bercocok tanam, dan suami dipersilahkan mendatanginya dengan berbagai posisi dan gaya.
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanam itu bagaimana saja kamu menghendakinya” (QS. Al Baqarah: 223)
Rasulullah juga mempersilahkan dalam sabda beliau, entah dari depan atau dari belakang. Asalkan tidak pada dubur dan tidak pada saat istri sedang haid.
أَقْبِلْ وَأَدْبِرْ وَاتَّقِ الدُّبُرَ وَالْحِيضَةَ
“Datangilah dari depan dan dari belakang, namun jangan masuki dubur dan ketika waktu haid” (HR. Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Baihaqi; hasan)