“Mblo, kapan nikah?” Pertanyaan semacam itu sering kita dapati di media sosial. Sebagian mungkin sekedar bertanya, tapi tak jarang disertai emotikon lucu dengan maksud meledek. Bahkan, kadang juga diikuti kata-kata atau gambar bernada mengejek. Misalnya: “Sandal jepit aja punya pasangan, kok kamu nggak punya?”
Jika sekedar mengingatkan atau mengakrabkan, mungkin tidak menjadi masalah bagi sebagian orang. Namun, sebaiknya hindari mencela jomblo mulai sekarang. Kalau perlu, hilangkan kosa kata “jomblo” dalam percakapan.
1. Melukai hati
Mungkin orang yang kita goda atau kita ejek tampak biasa saja merespon kata-kata itu. Atau ia diam tidak membalas komentar di media sosial. Kita pikir biasa saja. Namun, kita tidak tahu hatinya. Bisa jadi ia tersinggung atau terluka.
2. Haram mencela
Mencela jomblo, sebagaimana mencela orang secara umum, adalah hal yang diharamkan dalam Islam. Dalam surat Al Hujurat ayat 11 difirmankan Allah mengenai larangan ini.“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka…”
3. Bisa jadi ia lebih baik
Menggoda dan mencela jomblo bukan hanya terjadi di kalangan umum. Kadang kita juga melihat fenomena itu di kalangan aktifis dakwah. Padahal yang masih jomblo bisa jadi lebih baik dari ia yang mencela. Misalnya yang jomblo telah berikhtiar untuk menikah sesuai petunjuk syariat dan telah menjaga diri dari hal-hal yang berbau maksiat.
4. Panggilan yang buruk dan tak disukai
Panggilan “Mblo” baik secara langsung di dunia nyata maupun secara tertulis di media sosial bisa jadi merupakan panggilan yang mengganggu seseorang. Tidak disukainya. Jika demikian, ia bisa masuk dalam kategori panggilan buruk yang dilarang dalam Islam. Apalagi jika setelah “Mblo” ada kalimat ejekan dan celaan.
“…dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan…” (QS. Al Hujurat : 11)
5. Membuatnya malu
Mungkin seseorang tidak sakit hati ketika disebut dan dipanggil Jomblo. Namun ketika panggilan itu digunakan di media sosial yang bisa dibaca oleh siapapun, bisa jadi ia akan malu. Apalagi jika disertai ejekan.
6. Menjatuhkannya
Mungkin kita beralasan, teman kita tidak sakit hati dan tidak malu ketika kita meledeknya jomblo. Bahkan dengan disertai ejekan sekalipun. Kalaupun dia tidak sakit hati dan tidak malu, bisa jadi harga dirinya jatuh saat banyak orang berpikir, “pemuda ini jadi bahan olok-olokan di media sosial ternyata.”
Bisa jadi yang melihat di media sosial dan menilainya itu adalah teman, adik kelas, dosen atau bahkan bakal calon mertuanya. Bisa fatal dampaknya, bukan?!
7. Sudah ikhtiar, tapi belum ketemu jodohnya
Bisa jadi teman yang diolok-olok jomblo dan selalu diledek, ia tidak seperti yang dipersepsikan. Bukannya ia suka menjadi jomblo atau malas berusaha, bisa jadi ia sudah berikhtiar sekuat tenaga. Sudah minta difalisitasi keluarganya atau minta tolong ustadznya untuk mencarikan pasangan hidup. Namun belum juga ia mendapatkan. “Belum ketemu jodohnya,” istilah banyak orang.
Apalagi jika yang diledek itu akhwat (perempuan). Duh. Bukannya usaha seorang akhwat dalam hal jodoh tidak se-“ekspansif” ikhwan? Sungguh tega jika teman-teman mengolok-oloknya.
8. Dulu kita pernah jomblo
Sebelum seseorang meledek dan mencela orang lain, hendaklah ia berkaca. Bukankah kita dulu juga pernah jomblo? Maka tak perlu lah kita meledeknya. Kalaupun mau memotivasi, gunakan kata-kata dan cara yang baik. Memberikan hadiah buku siap nikah, misalnya. Hindari banyak komen negatif, apalagi di media sosial.
9. Seandainya dia kita?
Jika tidak mau dipukul, jangan memukul. Jika tidak mau diejek, jangan mengejek. Kedewasaan sangat diperlukan di zaman sekarang. Gunakan diri sendiri untuk berbuat kepada orang lain. Jika kita tidak mau seandainya olokan itu mengarah kepada kita, hendaknya jangan mengolok-olok orang lain. Perlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.
10. Ingat, mungkin kita akan jomblo lagi
Terakhir, ingatlah bahwa kita juga akan jomblo. Lho? Ya, jika makna jomblo adalah sendiri tanpa pasangan hidup bisa jadi Anda akan mengalami jomblo untuk kali kedua. Lihatlah orang-orang di sekeliling kita. Ada laki-laki yang ditinggal mati istrinya. Ada perempuan yang ditinggal mati suaminya. Ada yang sudah sangat tua baru pasangan hidupnya tiada. Ada juga yang masih muda, pasangan hidupnya sudah tiada.
Jangan sampai pada saat itu kita baru sadar dan kemudian menyesal: “Dulu aku menggoda dan mengolok teman yang jomblo, kini aku sendiri yang merasakannya.”