Harga (Diri) Orang Aceh



Di mata Snouck Hurgronje, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, ternyata doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.

Oleh Yusra Habib Abdul Gani (*

ORANG Aceh pantas merasa bangga, karena memiliki karakter “Superiority Complex”, yang memandang dirinya lebih mulia daripada Belanda, dengan menyebut dirinya, “Ulôntuan” yang berarti, “Aku adalah Tuan”. Penerapan sebutan ini dalam pertuturan sehari-hari mengalami proses pemèndèkan; yang apabila dipanggil, seseorang akan menyahut, “Wan”, yang akar katanya berasal dari “Ulôntuan.”

Di mata Snouck Hurgronje, “Superiority complex” ini disifatkannya sebagai “penyakit jiwa”, angkuh dan sombong, bukan sifat keutamaan, hingga muncul doktrin Snouck, “Orang Aceh wajib disakiti dengan sesakit-sakitnya, dihina dengan sehina-hinanya dan dihancurkan hingga hilang rasa kemuliaannya.” Setelah diuji, doktrin ini selamanya gagal, jika menyakiti fisik orang Aceh.

Sebenarnya, untuk memperdaya atau mengubah mental “ke-tuan-an” Aceh menjadi “babu” atau “lamit”, ada cara yang simpatik, yakni secara perlahan-lahan, rasa “superiority complex” ini digiring, diarahkan dan dimanfaatkan, hingga tidak sadar kalau mereka diperalat sebagai “barang” dagang politik untuk kepentingan politik. Tegasnya sebagai objek politik.

Aceh pernah dipakai sebagai brand (merek), sebab dianggap punya daya pikat dan nilai jual dalam perniagaan politik lokal, nasional maupun Internasional. Nama “Aceh” berpotensi melariskan barang dagang politik kontemporer.

Dalam skala politik internasional misalnya, “Aceh” pernah dipakai sebagai brand oleh Van Sweten tahun 1874, yang berkata, “Aceh sudah kita taklukkan”, yang ternyata bisa mempengaruhi opini dunia internasional pada masa itu. Sampai-sampai Ratu dan rakyat di seluruh pelosok Belanda keluar rumah berpestapora di jalan-jalan, merayakan kemenangan, setelah menerima pengumuman Van Sweten. Walaupun realitas yang terjadi di medan perang justeru sebaliknya.

Isu “kekalahan” Aceh, ternyata mempengaruhi kebijakan British, hingga memberi hak “belligerent power” (kuasa berdagang dalam suasana perang) kepada Aceh dan pihak asing untuk berdagang di Selat Melaka. Maksud pemberian hak ini, selain untuk mendeteksi peta kekuataan Angkatan Laut Aceh, juga menguntungkan perdagangan pihak asing di Selat Melaka khususnya, seperti, Belanda, Inggris, Perancis dan USA dan di kawasan Asia Tenggara umumnya.

Dalam skala nasional, “orang Aceh” pernah dimanfaatkan Soekarno sebagai brand dagang politik untuk menyelamatkan Indonesia, di mana Tgk Hasan Krueng Kaléé, Tgk Daud Beureuéh, Tgk Djafar Sidiq Lamdjabat dan Tgk Ahmad Hasbalah Indrapuri, Teuku Njak Arif dan Tuanku Mahmud dibujuk untuk mengeluarkan Maklumat Ulama Seluruh Aceh, tanggal 5 Oktober 1945, yang menyebut:

“...Indonesia tanah tumpah darah kita telah dimaklumkan kemerdekaannya kepada seluruh dunia serta telah berdiri Republik Indonesia di bawah pimpinan dari yang maha Pemimpin kita Ir Soekarno. Perjuangan ini adalah perjuangan suci yang disebut “Perang Sabil”.

Kalimat “maha Pemimpin” dan “Perang Sabil” adalah brand politik made-in Aceh, untuk mempengaruhi orang Aceh melihat figur Soekarno, hingga rela terseret dalam perang Surabaya dan Bandung Lautan Api. Padahal, nasib masa depan Aceh ketika itu tidak menentu. Brand politik ini menciptakan Soekarno sangat populer.

Jadi tak heran, kalau dalam kunjungan Soekarno ke Aceh tahun 1948; sekembalinya ke Jawa membawa 10 koper berisi tekstil, setengah kilogram emas dan sejumlah jam tangan berlapis emas, padahal sewaktu berangkat dari Yogyakarta ia hanya membawa sebuah koper saja, bahkan baju jasnya dijahitkan oleh Bantasyam, seorang penjahit di Bireuën.

Diakui, kalau sebutan “Pemimpin Besar Revolusi” kepada Sukarno telah dicabut melalui Ketetapan MPRS No. XVII/MPRS/1966; melucuti semua sebutan, seperti: “Paduka Yang Mulia” (P.Y.M.), “Yang Mulia” (Y.M.), “Paduka Tuan” (P.T.) diganti dengan sebutan “Bapak/Ibu” atau “Saudara/Saudari” melalui Ketetapan MPRS No. XXXI/MPRS/1966, bahkan mencabut semua atribut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno, lewat Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967.

Anèhnya, sebutan “maha pemimpin” yang tertera dalam Maklumat Ulama Seluruh Aceh, sampai hari ini tidak ada peraturan perundang-undangan yang mencabutnya.

Berarti, secara politik dan yuridis formal, sebutan “maha Pemimpin” made-in Aceh itu masih sah berlaku. Mengapa? Beginilah mahalnya brand Aceh dalam perdagangan politik Indonesia kemaren, hari ini dan esok.

Bukan hanya itu, pencetus idé supaya Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup keluar dari mulut Ali Hasymi, Gubernur Aceh (periode 1957-1964). Ide tersebut mendapat sambutan dari kalangan politisi. Sehingga ide itu kemudian ditetapkan melalui Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang: Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup.

Kemujaraban brand Aceh, telah memansukhkan pasal 5, UUD-1945 (sebelum amandemen yang tertera dalam pasal 7) tahun 1999, 2000,201 dan 2002, tentang: ketentuan Presiden dan Wakil Presiden.

Dalam memori penjelasan TAP-MPRS ini disebut: “... mengangkat Sukarno sebagai Presiden seumur hidup semata-mata untuk menghidupkan dan memperkaya preceden dalam ketata-negaraan Indonesia...” Soekarno tidak menolak, kendatipun rumusan ini berlawanan dengan UUD-1945. Soal kemudian, TAP-MPRS ini dimansukhkan, itu soal lain. Yang pasti, ucapan orang Aceh, bukan saja dijadikan “barang” dagang politik, tetapi laku dipakai untuk melakukan perbuatan makar terhadap konstitusi.

Selanjutnya, di tahun 1987, saat Bustanul Arifin (Ketua Bulog ketika itu) bertanya kepada Tengku Daud Beureuéh yang tengah dalam keadaan koma:

Apakah Tengku merestui Golkar menang di Aceh?”.

Wartawan bertanya: apa renpons Tengku?” “Tengku merestui, Jawab Bustanil.

Suara asing” ini dipasarkan untuk memenangkan Golkar di Aceh ketika itu.

Dalam situasi dan isu yang berbeda; Tengku Hasan. M di Tiro yang sedang dalam keadaan koma sempat menitip pesan: “Jaga perdamaian Aceh” kepada Malik Mahmud. Demikian pengakuan Malik Mahmud kepada wartawan. [Sumber: Acehkita].

Sekarang, figur Aceh yang layak jual sudah kosong. Kadar kemampuan ulama, politisi, tokoh masyarakat dan cendekiawan Aceh saat ini berada di bawah standard. Orang Aceh hampir sepenuhnya berubah dari mental “Tuan” menjadi “babu” politik.

Oleh sebab itu, “permintaan maaf” sepihak dari Wiranto kepada orang Aceh (06/08/1998) di Lhôkseumawé dan berhasilnya MoU Helsinki ditanda tangani atas inisiatif Jusuf Kalla, terpaksa dipakai oleh pasangan JK-Wiranto sebagai “barang” dagang politik dalam pesta demokrasi di Indonesia.

SBY juga dianggap berjasa dalam isu Helsinki. Padahal, kalau mau jujur, tangan siapa (calon Pres-Wapres RI) yang tidak kotor di Aceh? Namun, orang Aceh tetap antusias memenangkan SBY dengan mengantongi 93% suara di Aceh.

Dari sudut politik, orang Aceh bukan tuan politik. Padahal tuan politik ialah orang yang mampu menempatkan diri sebagai subjek, bukan objek kekuasaan dan bencana yang paling dahsyat dalam peradaban manusia terjadi, ketika predikat “superiority complex” -nilai-nilai ke-Aceh-an- dilucuti dan diremukkan oleh suatu kekuatan yang tidak pernah terpikir sebelumnya.

***

* Penulis adalah Dikrektur Institute for Ethnics Civilization Research, Denmark
Harian Serambi Indonesia 19/7/10.