KARTINI DAN “ MEREKA”([1]): SIMBOL FEMINISME DI INDONESIA
Membincang kartini, kita akan diingatkan dengan teman-teman pendekar wanita semisinya, seperti : Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dll. Mereka para pengusung semangat pengangkatan harkat wanita pada masa mereka hidup. Walaupun pada saat itu mereka tak mengatakan bahkan tak pernah tahu bahwa mereka adalah tonggak lahirnya pembebasan para perempuan dari belenggu kekuasaan yang menindasnya. Mereka layak digelari pahlawan nasional bahkan jika tak berlebihan dan terlepas dari memang penulis dengan mereka adalah sesama kaum perempuan maka julukan Srikandi Nusantara memang pantas disematkan kepada mereka.
Dalam tulisan sederhana ini penulis akan sedikit memaparkan gagasan pemikiran para tokoh wanita diatas. Uraian sekilas tentang feminisme akan menjadi pembuka dalam tulisan kecil ini. Harapan penulis, semoga tulisan ini bisa menjadi semacam semangat bagi siapapun yang mau melihat kekuatan besar yang tersembunyi di balik kerapuhan para wanita, khususnya bisa menjadi hikmah penulis dalam menyusuri jalanan kehidupannya.
Feminisme Melintang Dunia
Mengutip definisi Kadarusman dalam bukunya Agama, Relasi gender & Feminisme, feminisme adalah gerakan kritis terhadap simbol, ideologi, dan kultur yang memperlakukan perempuan secara tidak adil. Feminisme hendak melakukan dekontruksi terhadap sistem sosial yang merugikan perempuan. Dalam definisi lain, feminisme adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria.
Feminisme muncul dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah Revolusi Amerika tahun 1776 dan Revolusi Prancis pada tahun 1792 berkembang pemikiran bahwa posisi perempuan kurang beruntung dari pada laki-laki dalam realitas sosialnya. Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama dengan laki-laki dihadapan hukum. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris, kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum perempuan di dalam rumah. Pada tahun 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di kota Middelburg, Belanda.
Pada tahun 1800, gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi di berbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenaga kerjaan peran perempuan mulai meningkat. Sedangkan pada tahun 1920 perempuan Inggris mulai diperbolehkan bekerja di luar rumah. Sedangkan di Perancis, pada tahun 1881 untuk pertama kalinya perempuan yang bersuami dan bekerja di pabrik boleh membuka rekening tabungan tanpa izin dari suami dan atau tanpa memakai nama suami.
Pada tahun 1914-1918 dan tahun 1939-1945 saat terjadi perang dunia I dan II, para perempuan sudah mulai andil dalam perang walaupun hanya sekedar menjadi petugas palang merah dan sebagai pengamat lalu lalang pesawat terbang. Dan pada tahun 1970, kampaye tentang hak-hak perempuan mulai giat dikumandangkan. Pada tahun itu sudah banyak perempuan yang mengenyam pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Mereka sudah mulai memiliki hak suara dalam pemilu, bahkan mereka juga menduduki jabatan-jabatan penting dalam jalannya roda pemerintahan negara.
RUH FEMINIS DALAM GAGASAN KARTINI DAN MEREKA([2])
Dalam semangat feminisme yang mengusung ide kesetaraan gender( persamaan hak-hak laki-laki dan perempuan), selalu diawali dengan ketimpangan dalam sebuah bangunan sistem sosial. Seperti halnya kartini dan “mereka”, mereka berani tampil beda dengan gagasan pemikiran yang sudah terpakemkan. Pakem yang merugikan satu pihak memang ada saatnya akan memunculkan satu pergolakan. Deskriminasi sudah saatnya hilang dari bumi yang damai ini.
Tokoh perempuan yang sering dijadikan simbol gerakan emansipasi di Indonesia adalahKartini. Namun, bukan hanya kartini saja yang bisa dijadikan tokoh dalam gerakan emansipasi wanita. Ada nama Dewi Sartika, mereka agaknya bisa sandingkan dalam pemikirannya. Mereka berdua berjasa dalam perkembangan awal adanya pendidikan perempuan. Kartini mulai menyadari adanya belenggu budaya patriarkhi dalam masyarakat jawa, sejak dia banyak bertukar pikiran dengan sahabat karibnya dari Belanda, Rosa Abendanon.
Pemikiran Kartinipun bergeser dari pemikiran para wanita jawa saat itu. Ia menginginkan para perempuan bisa bersekolah, memperoleh pendidikan seperti halnya para laki-laki. Wanita jawa pada saat itu memang tak diperbolehkan sekolah kecuali dia berasal dari kalangan bangsawan. Beruntung kartini pada saat itu bisa sekolah di ELS (Europese Lagere School), disanalah kartini belajar bahasa Belanda. Walaupun ia hanya diperbolehkan sekolah sampai berumur 12 tahun, namun ini sudah cukup membuat kartini tergoda untuk meneruskan jenjang sekolahnya. Dalam surat-surat yang ditujukan kepada sahabatnya di Belanda, terungkap bahwa sebenarnya ia ingin meneruskan ke jenjang pendidikan kedokteran di Belanda. Keinginan itu lenyap bersama menikahnya Kartini dengan bupati Rembang, pria yang sudah memiliki tiga isteri. Pada akhirnya kartini mendirikan sekolah untuk perempuan pertama di daerahnya. Hal itu kebetulan di dukung oleh suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat .
Dalam hal pemikiran, RA. Kartini begitu mirip dengan semangat para tokoh feminis, hal ini terungkap dalam surat-suratnya yang dikumpulkan oleh Rosa Abendanon. Walaupun kevaliditasan surat-surat itu sering dipertanyakan, namun gagasan dalam pemikiran yang tertuang dalam kumpulan surat-surat itu layak kita baca. Bahkan kumpulan surat-surat itu pada akhirnya di terbitkan dalam bentuk buku di belanda. Dan juga di cetak dalam edisi Indonesia dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Surat-surat Kartini berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. “…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…” Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.
Dalam hal kemajuan pendidikan para wanita, Dewi Sartika agaknya hampir sama dengan Kartini. Dan ini berbeda dengan dua pendekar wanita Indonesia yang akan kita bicarakan selanjutnya. Dua pendekar itu adalah Chut Nyak Dien dan Martha Christina Tiahahu. Mereka seperti halnya Aisyah, isteri rasul ketika menjadi panglima perang jamal. Mereka berdua turut serta dalam peperangan melawan penjajah di Bumi Nusantara.
Dalam perjuangan itu ia berangkat dari sakit hati karena suaminya syahid di tangan penjajah, akhirnya Cut Nyak Dien menikah dengan Teuku Umar, seorang tokoh yang melawan Belanda yang memberikan dia peluang untuk terjun ke medan perang.
Pendekar perang wanita selanjutnya adalah Martha Cristina Tiahahu. Wanita pemberani ini berjuang untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia dari penjajah Belanda pada era perang Pattimura. Perjuangan yang berakhir dengan kematian di medang perang, telah mengharumkan namanya berada di deretan pahlawan nasional perempuan.
Secuplik sejarah di atas, barangkali bukan hal yang baru lagi dalam khazanah cerita perjuangan pra kemerdekaan. Namun, dampak maupun semangat perjuangan kaum wanita untuk berada setara dengan kaum laki-laki agaknya mulai digagas oleh para pejuang pendahulu. Kita sebagai generasi penerus bangsa, seyogyanya mengikuti jejak perjuangan mereka. Berjiwa pemberani bak Cut Nyak Dien dan Martha Cristina Tiahahu, berpikiran maju dan intelektualis seperti Dewi Sartika dan Kartini. Menjadi perempuan tangguh, namun tetap menjadi ibu bagi anak-anak kita.
Semangat hari kartini dan “mereka”……
Ponorogo, 21 April 2013
Maghfiroh/ghofirassyifa/ STAIN Ponorogo
[1] Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan para perempuan Indonesia yang peduli dengan haknya.
[2] Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan para perempuan Indonesia yang peduli dengan haknya.
Ghofir Asyifa