Ketika Hadits Bukan Lagi Sunnah Rasul (1)


Lho, kok?! Begitu mungkin tanggapan kaum muslim umumnya membaca judul di atas Bagi mereka hadist identik dengan sunnah rasul, kebenarannya mutlak ke-2 sesudah Al Quran. Meski disamping itu mereka akui hadits bukan kitab suci dan tidak ada kewajiban beriman kepada hadits. Ambigue?! Tentu, dan perlu peninjauan kembali yang sungguh-sungguh.
*
Bukankah banyak ucapan Rasulullah yang maksudnya melarang membukukan hadits? Yang seharusnya diterima sebagai hal prinsipiil? Larangan itu antara lain tersebut dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Abu Said Al Khudri, yang berkata: “Bersabda Rasulullah SAW : ‘Janganlah kamu tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang menuliskan ucapanku selain al Qur’an, hendaklah dihapuskan, dan kamu boleh meriwayatkan perkataan-perktaan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah neraka.’”
*
Muslim, Zuhd 72; Hanbel 3/12,21,39: “Muhammad berkata: ‘Jangan menulis apapun dariku KECUALI Al-Qur’an. Siapapun yang menulisnya, hancurkanlah tulisan itu.’”
*
Pemikiran-pemikiran jernih kita akan menemukan yang menjadi penyebab dalam batin atau visi Rasulullah melarang penulisan dan pembukuan hadits adalah :
a. Khawatir terjadi kekaburan atau disotrsi antara ayat-ayat al-Qur’an dan hadits Rasul.
b. Takut berpegangan atau cenderung menulis hadits tanpa ditela’ah.
c. Khawatir orang-orang kebanyakan berpedoman pada hadits saja, tinggal menirukan tanpa ijtihad.
Alasan-alasan tersebut ternyata aktual dan terbukti akibat dan dampaknya sangat buruk bagi perkembangan Islam.
*
Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkan satu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyak setelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: “Kamu sekalian meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehingga kalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebih keras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan hadits sedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang meminta kalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Anda ada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkan apa yang diharamkannya.”
*
Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga. Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengantindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras. Aisyah bercerita, “Ayahku telah menghimpun 500 hadits dari Nabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, “Bawa hadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu.” lalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati, meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu.”
*
Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasuk al-Khulafa’ al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besar sahabat, juga sebagian besar tokoh tabi’un seperti Sa’id ibn Jubair, al-Nakha’i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa’id bin Musayyab tidak mau menuliskan hadits. Larangan keras membukukan hadits tersebut sudah barang tentu dipatuhi umumnya umat Islam di mana-mana waktu itu. Situasi seperti ini berlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah.
*
Sampai pada suatu ketika beberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisan hadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah. Al-Awza’i di Syria, Sa’id bin Abu ‘Urwah di Basrah, Mu’ammar di Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah. Anehnya hal itu dibiarkan saja oleh yang lain. Adapun alasan umum para penggerak hadits tersebut adalah bahwa Al Quran berisi petunjuk dalam pokok-pokok dan garis besar saja. Sementara keadaan telah berkembang jauh dan umat memerlukan pedoman yang melengkapinya.
*
Catatan kita bahwa bila hanya dalam kurun waktu kala itu mereka belum cukup dengan wawasan Al Quran dan mungkin juga mereka merasa gamang. Ada firman Allah yang menjamin “Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab ini sedikit pun, dan al-Qur’an itu menjelaskan segala sesuatu.”
*
Kemudian sesudahnya membanjir hadits-hadits yang konon dalam jumlah hingga ratusan ribu.
*
Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktek kaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasal dari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalam Islam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukum Islam terhadap praktek kebanyakan umat Islam yang ada, di tambah unsur-unsur yang berasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketika gerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yang ada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut “Sunnah Nabi.” Pendapat tersebut memang bersifat kasar, tidak teliti, dan mungkin juga kurang berdasar.
*
Fazlur Rahman, dari kalangan muslim, mengkoreksi pandangan orientalis ini dengan argumen penegasan. Bahwa sementara kisah perkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengan kandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnya yang menyatakan bahwa kandungan sunnah yang bersumber dari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkan bersifat spesifik secara mutlak. Sunnah Nabi tetap merupakan konsep yang memiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islam hingga masa kini.
*
Para sahabat bersungguh-sungguh memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagai teladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupan sehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiran individual mereka terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagian sahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapi sahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Lebih lanjut, walaupun landasannya yang utama adalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya generasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorisme yang dikemukakan seolah-olah dari Nabi. Hadits juga tidak bersifat historis. Dapat dikatakan hadits adalah komentar yang besar mengenai Nabi oleh umat muslim di masa lampau.
*
Maraknya ide-ide, berkembang di Madinah, Kuffah, dan secara berangsur-angsur di daerah kekuasaan kaum muslim yang luas hadits-hadits yang disepakati. Ketika gerakan hadits unggul, ijma’ (yang merupakan opinio publica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umat terhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan.
*
Karena demikian meluas dan menanjaknya hadits, terbuka peluang pada pemalsuan hadits. Para penguasa muslim pun berminat menanamkan pengaruhnya melalui hadis. Karena itu hadits mendapat legitimasi dan bila perlu dengan paksaan.Untuk memperparah keadaan, tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secara bebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atau sosiologis. Periwayatan hadits palsu terbuka baik untuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apa saja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun.”
*
Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukan banyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan, berbuatan atau taqrir Nabi saw. Namun jangan terkejut juga kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Yang paling menyusahkan kita ternyata banyak hadts semacam itu tetap dinyatakan shahih oleh para ahli ilmu hadits. Boleh jadi banyak amal yang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada “hadits” yang bukan hadits. Yang, tidak jarang bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw.
*
Dalam penelitian disertasi doktoral bidang hadits yang diujikan di UIN Makasar, Ustadz Jalal menemukan kesimpulan sementara bahwa 80% sunnah yang dijalankan Umat Islam bukan sunnah Nabi.
*
Seandainya saja hadits diterima seara apa adanya dan tidak disakral-sakralkan.
***
Wassalam.
*
Bahan: Dari Sunnah Ke Hadits atau sebaliknya oleh Jalaluddin Rakhmat

Soenarto W