Hikayat Blusukan Sang Raja


Syahdan, Sunan Pakubuwono V (memerintah Kasunanan Surakarta 1820-823) gundah gulana. Sunan sedih sebab didapatinya kerajaan mengalami krisis pangan. Sudah berkali-kali dia membuat sidang kerajaan, menyusun rencana, dan melaksanakan kegiatan tetapi belum juga membuahkan hasil. Bahkan dengan caranya sendiri dia memperoleh informasi ada pejabat di wilayahnya yang menggunting dalam lipatan, menimbun pangan di saat krisis terjadi. Lagipula konon Sunan memperoleh intiuisi gaib yang pada intinya mengatakan bahwa kerajaan akan tenteram jika diberi tumbal tangan dan kaki orang yang menderita warna belang pada kulitnya atau dalam khasanah Jawa disebut sebagai “wong pancal panggung.” Untuk mengkonfirmasi informasi pelanggaran pejabat di wilayahnya sekaligus berharap segera memperoleh petunjuk mengenai intuisi gaib itu, Sunan bertekad akan “blusukan“, “anjajah desa milang kori“, berkeliling wilayah dengan cara menyamar sebagai rakyat jelata (incognito).
Akhirnya perjalanan Sunan sampai di Keduwang, Gunung Kidul, yang secara administratif merupakan wilayah Kasunanan Surakarta. Sang raja tertegun melihat banyaknya rakyat yang antri guna membeli beras di rumah pimpinan wilayah itu, Demang Keduwang. Rupa-rupanya sang demang adalah pejabat yang kaya raya, mempunyai lumbung beras yang banyak tetapi pelit dan tega menjual beras kepada rakyatnya sendiri dengan harga mahal. Anehnya, di salah satu sudut pekarangan rumah Demang Keduwang tersebut, Sunan melihat seorang perempuan tua, yang dipanggil Nyai Mita, membuat hamparan tikar dan ia membuat makanan gratis untuk dibagikan kepada rakyat yang antri beras itu. Nyai Mita juga menghibur anak-anak kecil yang ada di situ.
Ketika hari sudah larut malam, Sunan mengetuk pintu rumah Demang Keduwang. Saat bertatap muka dengan sang demang, Sunan terkejut karena menyaksikan tuan rumah menderita belang-belang pada tangan dan kakinya sehingga dapat disebut Wong Pancal Panggung. Namun Sunan yang sedang menyamar itu segera mengatasi perasaannya. “Siapa kamu?” “Nama saya Kyai Ngabdurahman, tuan Demang.”
“Mau apa kamu?, tanya Ki Demang dengan ketus. “Maafkan saya Ki Demang, sudliah kiranya tuan menolong saya. Saya datang dari jauh. Saya akan membeli beras barang 1liter saja.” Bukannya ramah, Ki Demang justru marah dan memaki-maki Sunan. “Kurang ajar, dungu kamu. Tak pernah dengar berita ya? Aku hanya melayani pembeli yang memberli daganganku beras dalam jumlah beras, bukan sedikit, seperti peminta-minta. Pergi sana!” Pintu ditutup dan Sunan tertegun dengan sikap Ki Demang. Segera ia akan beranjak meninggalkan rumah Ki Demang, tapi mendadak Nyai Mita memanggilnya dengan halus. “Saudaraku, jangan pergi dulu! Mari mampir ke sini. Aku sediakan makanan ala kadarnya untukmu.”
Sunan tertegun dan kagum dengan kebaikan perempuan tua itu. “Ayo duduk sini, makanlah sekadarnya.” “Saudara tentu lapar habis perjalanan jauh ya?” Sunan kemudian menghampiri perempuan tua itu dan bersedia menikmati makanan yang disajikan. “Siapa namamu?” “O saya, Ki Ngabdurrahman.” Saya dari Solo. Jauh-jauh saya kesini mau membeli beras karena kalau memberli di kota tempat tinggal saya harganya mahal.” Tapi nampaknya Ki Demang tidak berkenan.”
“Sudahlah. Memang wataknya begitu Ki Demang. Dia kikir dan pelit. Lihat saja sebagai pemimpin daerah dia tidak memikirkan rakyatnya malah menimbun beras. Giliran ada kelaparan, dia tega menjual dengan harga tinggi kepada rakyatnya. Begitulah watak dia. Sayang, padahal di adalah punggawa kerajaan Surakarta. Andai tahu hal ini tentu Ingkang Sinuhan (sebutan kehormatan untuk Sunan) tentu akan menegurnya.”
Nyai Meta terus menerus cerita mengenai gaya kepempinan Ki Demang dan tingkat kesulitan hidup yang dihadapi masyarakat sekitar tanpa sama sekali menyadari bahwa yang diajak berbicara adalah sesembahannya, raja di Kasunanan Surakarta.
“Sudah hampir malam Nyai. Terimakasiha atas perjamuanmu ini. Saya pamit hendak mencari beras di tempat lain,” ujar Sunan pamit. Diam-diam Sunan meninggalkan sekian keping uang di balik tikar Nyai Mita.
“Ya hati-hati. Terimakasih kembali Kyai Ngabdurrahman.”
“Saya terkesan dengan kebaikanmu. Seminggu setelah ini datanglah ke rumahku di Surakarta. Jika engkau berjalan ke dalam kota lalu ketemu lapangan luas dan ada bangunan besar itulah rumahku. Tanya orang yang engkau jumpai pasti mengenalku dan mengantarmu ke rumahku.”
“Wah senang sekali. Baiklah saya akan kesana. Jangan lupa lo, kalau aku ke sana antar aku jalan-jalan. Siapa tahu aku bisa bertemu Sinuhun Pakubuwono.”
“Ya pasti kuturuti. Sampai ketemu Nyai.”
Sesudah Sunan pergi Nyai Mita berkemas-kemas dan betapa kagetnya dia menjumpai keping-keping uang yang menurut ukuran jaman itu sangat besar jumlahnya. Nyai Mita sampai menjerit. Jeritan itu memancing perhatian Ki Demang dan menghampiri. Begitu tahu ada uang di situ, secepat-cepatnya Ki Demang mengambilnya tanpa menyisakan sedikitpun uang untuk Nyai Mita. Dan Nyai Mita walaupun geram, tetap saja kagum dan bertekad akan mengunjungi Kyai Ngabdurahman di Surakarta.
Kemudian, Nyai Mita benar-benar berkunjung ke Surakarta dan sampailah ia di halaman lapangan yang luas dan dilihatnya rumah besar di kejauhan. Itulah Alun-Alun Kidul dan yang dilihatnya adalah atap keraton. Kepada prajurit yang berjaga di situ dia bertanya,”Mas, tahu enggak rumahnya Kyai Ngabdurahman? Yang saya saksikan ini kok persis dengan ciri-ciri yang pernah dia sampaikan padaku.” Seorang prajurit menghampiri perempuan tua itu. “Apakah Nyai bernama Mita dan dari Gunung Kidul?” “Ya itu, aku, dan bagaimana kamu tahu Mas?” Tiba-tiba prajurit tadi membungkuk dengan penuh hormat dan berkata,”Benar Nyai, ini adalah rumah Kyai Ngabdurahman yang engkau kenal dulu. Mari, engkau sudah ditunggu dan saya ajak masuk ke rumahnya.”
Nyai Mita dengan bimbang dan bingung mengikuti prajurit itu. Bagaimana orang ini tahu identitasnya? Bagaimana juga orang itu begitu hormat padanya? Perempuan itu sama sekali tidak tahu bahwa sesudah kunjungan ke Gunung Kidul itu Sunan Pakubuwono V membeberkan kepada punggawa kerajaan sikap dan tindakan Demang Keduwang dan juga berpesan agar setiap prajurit jaga agar bila ada perempuan tua menanyakan Kyai Ngabdurahman supaya dihadapkan kepadanya.
Sampailah Nyai Mita di Bangsal Prabasuyaksa dan dia melihat Sunan Pakubuwono yang belum mengenakan pakaian kebesaran raja duduk seakan menanti kedatangannya. “Wah Nyai Mita akhirnya datang. Kemarilah Nyai.” “Ya Kyai Ngabdurahman.” Dulu engkau kukira penjual beras tak tahunya rumahmu begini besar dan di mana-mana dijaga oleh pembantumu.”
Sunan Pakubuwono tersenyem penuh arti. “Kenalkan ini isteriku. Dan anak laki-laki kecil itu namanya Sapardan. Sebentar lagi aku akan meminta supaya Sunan Pakubowono ke tempat ini dan bertemu denganmu. Bukankah kau dulu sangat ingin menemuinya?”
“Ah, Kyai masih ingat juga janjiku. Ya aku akan menunggu di sini.”
“Kamu pasti lelah, Nyai. Sebentar lagi pembantuku akan menyediakan makanan. Beristirahatlah sambil menunggu kedatangan Kanjeng Sunang.”
“Ya Kyai, terimakasih.”
Sunan Pakubuwana, permaisuri, dan anaknya kemudian pergi memasuki halaman dalam keraton. Selanjutnya, dengan penuh hormat, Nyai Mita kedatang serombangan abdi dalem yang mengaku diminta Kyai Ngabdurahman untuk menjamunya. Belum hilang keterkejutan Nyai Mita, ia sudah diminta berjalan ke arah bangunan luas dan sudah tersedia banyak makanan mewah. Yang dituju adalah Bangsal Handrawina, tempat Sunan menjamu tamu penting.
Sesudah makan, Nyai Mita kemudian diajak ke bangunan lain yang dilihatnya melulu perempuan. Itu adalah Bangsal Keputren. Di situ perempuan itu diminta mandi lalu diberi pakaian yang bagus dan perhiasan yang indah-indah. Betul-betul pelayanan yang membuat Nyai Mita tidak habis mengerti dan belum menyadarkan dirinya bahwa ia berada di lingkungan keraton. Tiba-tiba ia melihat laki-laki dan perempuan berpakaian resmi kenegaraan berjalan menghampirinya. “Masih ingat aku Nyai?” sapa si laki-laki itu.
Nyai Mita terpana. Wajah itu adalah wajah Kyai Ngabdurahman, rakyat jelata yang dulu pernah ia tolong di Kademangan Keduwang. Tetapi mengapa ia begitu berwibawa dan nampaknya berpakaian kebesaran seorang raja. “Maafkan aku Nyai. Aku adalah Kyai Ngabdurahman. Aku sebenarnya Sunan Pakubowono V dan ini permaisuriku, Kanjeng Ratu Kencono. Duduklah Nyai.” Nyai Mita bak disambar petir dan terkejut karena yang dihadapinya adalah junjungannya, raja Surakarta yang dia tidak pernah ketemu dan memastikan kalau dirinya tidak mungkin bertemu dengan bangsawan itu.
Sunan Pakubuwana kemudian memerintahkan Nyai Mita untuk sementara tinggal di keraton. Segala kebutuhannya dilayani dan oleh abdi dalem dia diantar keliling kota menggunakan kereta kerajaan. Namun tetap saja dengan kemewahan itu dia ingin pulang. Dia cemas dengan nasib orang-orang yang antri beras di Kademangan. Dan Sunan kemudian mengizinkannya sembari memberi hadiah yang banyak, dari pakaian, perhiasan, hingga uang. Perjalanan Nyai Mita hingga ke kampung halaman diantar prajurit kerajaan.
Tentu saja tetangga menjadi terkejut termasuk KI Demang. Setela semua berkumpul Nyai Mita menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk kedatangan Kyai Ngabdurahman tempo hari yang sesungguhnya adalah Sunan yang sedang menyamar. Betapa terkejutnya Ki Demang mendengar hal itu. Bukankah Kyai Ngabdurahman adalah orang yang mengetuk pintu rumahnya di malam hari dan hendak membeli beras tetapi ia maki-maki dan usir secara kasar. Bagaimana nasibnya selanjutnya?
Kemudian setelah peristiwa itu kekalutan pikiran Ki Demang tidak berakhir dan dia jatuh sakit. Sampai akhirnya ia meninggal dunia, bertepatan dengan rombangan punggawa Surakarta yang diperintah untuk menghadapkan Ki Demang kepada Sunan Pakubowono. Sebagai bukti bahwa mereka telah sampai di kademangan, mereka membawa jenazah itu ke hadapan Sunan di Surakarta.
Atas perintah Sunan, kaki dan tangan manusia Pancal Panggung itu dipotong dan ditanam di suatu tempat di lingkungan kerajaan sebagai tumbal seperti intuisi gaib yang diterima raja. Jenazah Ki Demang kemudian dikembalikan ke keluarganya untuk dimakamkan. Sunan sendiri bertitah tidak layak seorang pemimpin bersuka ria dan menumpuk kekayaan di atas penderitaan rakyat kecil. Sunan memerintahkan nasih Ki Demang itu menjad pelajaran bagi siapapun aparatur kerajaan supaya tidak bermain-main dengan kewajibannya. Sesudah kejadian itu, kerajaan Surakarta kembali tenteram dan krisis pangan berangsur-angsur hilang.
(Kisah ini saya ceritakan dengan menafsirkan secara bebas dalam batas kemampuan saya sebagian uraian dalam buku klasik “Sunan Pakubuwono V”, yang disusun oleh Soemosapoetro, 1956).

Mas Ishar