Panggung Krapyak, Situs Kerajaan Mataram


1365433562147233145
Salah satu situs sejarah yang terkiat dengan historiografi Keraton Yogyakarta adalah Panggung Krapyak. Lokasinya dapat dijangkau dari Alun-Alun Kidul, melewati Plengkung Gading dan Jalan D.I Panjaitan. Panggung Krapyak akan ditemukan setelah melaju kurang lebih 3 kilometer, berada tepat di tengah jalan.Bangunan Panggung Krapyak berbentuk persegi empat seluas 17,6 m x 15 m. Dindingnya terbuat dari bata merah yang dilapisi semen cor dan disusun ke atas setinggi 10 m. Bagian dinding kini tampak berwarna hitam, menunjukkan usianya yang hampir menyamai usia Kota Yogyakarta, seperempat milenium. Bangunan tampak masih kokoh, walau beberapa bagian mengalami kerusakan akibat gempa 27 Mei 2006 lalu.
Alkisah wilayah Krapyak, yang kini berada di selatan Kraton Yogyakarta, dahulu merupakan hutan lebat. Beragam jenis hewan liar terdapat di sini, salah satunya rusa atau dalam bahasa Jawa disebut menjangan. Tak heran bila wilayah ini dulu banyak digunakan sebagai tempat berburu oleh Raja-Raja Mataram. Salah satu raja Mataram yang gemar berburu itu adalah Raden Mas Jolang yang bergelar Kanjeng Sunan Hadi Prabuanyokrowati (1601-1613). Ia adalah raja yang menggantikan kedudukan ayahnya Panembahan Senapati. Sebenarnya kedudukannya kontroversial karena ia adalah putra Pamembahan Senapati yang lahir dari permaisuri Kanjeng Ratu Pati, putri dari Ki Penjawi. Adik sang permaisuri itu dikisahkan pernah memberontak kepada kakak iparnya. PenunjukkannMas Jolang sebagai raja dianggap Panembahan Senapati akan meneruskan tali silaturahmi ayahnya, Ki Aeng Pemanahan, yang sama-sama murid Ki Ageng Sela dan pernah mengabdi di Kesultanan Pajang bersama-sama Ki Penjawi. Padahal, saat itu sebenarnya Panembahan Senapati terikat janji dengan permaisuri yang lain, Kanjeng Ratu Retno Dumilah. Panembahan Senapati mengawini Retno Dumilah setelah berhasil menaklukkan ayahnya, Panembahan Mas (dulu merupakan salah satu putra Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Madiun). Saat itu, Retno Dmilah bersedia diperistri asal jika ia mempunyai anak laki-laki harus menjadi raja di Mataram. keyataannya, sekalipun berputra dua laki-laki, Pangeran Juminah dan Pangeran Lempuyang, janji itu tidak pernah terlaksana.
Suatu hari Sunan Hadi berburu ke Krapyak. Seperti biasa, lokasi itu disterilkan dan tanggung jawab keselamatan sang raja ada di bawah komando penguasa setempat, Demang Minggir. Malangnya saat sedang asyik berburu tiba-tiba Sunan Hadi ditikam dengan sebuah keris oleh seorang laki-laki hingga tewas di tempat. Sayang pembunuh tidak dapat ditangkap. Selain duka yang mendalam, pembunuhan sang raja di Krapyak itu menyisakan intrik mengenai siapa dalang pembunuhan itu. Demang Minggir ke,udian ditahan atas tuduhan lalai menjaga keselamatan raja dan mempunyai pamrih atas kematian sang raja. Konon salah satu puteri Demang Minggir, hendak dilamar oleh Raden Mas Rangsang, salah satu putera Sunan Hadi, yang kelak naik tahta dan bergelar Sultan Agung. Jika raja meninggal maka sang demang akan memperoleh kedudukan yang tinggi di istana. Orang lain yang menjadi tersangka adalah Pangeran Juminah, adik raja, putra Panembahan Semapati dengan Retno Dumilah. Motifnya adaalh yang bersangkutan tidak suka dengan bertahtanya sang raja karena melanggar perjanjian kedua orang tuanya.
Namun semua tuduhan itu tidak terbukti. Putra Demang Minggir, yang bernama Mantrijero, yang pada awalnya membela ayahnya dari tuduhan sebagai dalang pembunuhan, akhirnya ditunjuk menjadi penyelidik independen kerajaan. Saat pembunuhan terjadi ia berada di lokasi dan sempat mencengkeram sang pembunuh raja tetapi tidak bisa menankap, hanya baju pembunuh itu sobekannya tergenggam. Mantrijero sempat curiga juga dalang pembunuhan itu Pangeran Juminah, karena sobekan kain pembunuh itu sama dengan pakaian yang lazim dipakai abdi dalem kediaman resmi di Juminahan. Namun Pangeran Juminah membantah. Ia mengakui tahu ada perjanjian politik antara ayah dan ibunya namunitu sudah sejarah masa lalu dan dia tidak akan menuntut hak. Konon pula Sunan Hadi semasa hidupnya amat menyanyanginya juga. Mantrijero lalu mengkonfirmasi apakah soekan kainyang dia peroleh adalah kain pegawai kediaman resminya. Di tiu terunkap bahwa pembunuh Snan Hadimadalah abdi dalem Juminahan tetap itu inisiatif pribadi. Abdi itu bernama Mijen. Akhirya Mijen tertangkap dan mengakui perbuatannya membunuh Sunan Hadi di Krapyak.
Untuk mengenang kejadian itu Sunan Hadi diberi gelar baru sebagai Panembahan Seda Krapyak. Mantrijero yang berjasa mengungkap kemelut itu diangkat menjadi prajurit kerajaan dan diberi tempat khusus di lingkungan istana yang diberi nama Mantrijeron. Nama ini sekarang diabadikan sebagai salah satu nama dari 10 divisi prajurit Kraton Yogyakarta.
Raja lain yang gemar berburu di Hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I). Beliau-lah yang mendirikan Panggung Krapyak lebih dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini. Panggung Krapyak merupakan petunjuk sejarah bahwa wilayah Krapyak pernah dijadikan sebagai area berburu.
Arsitektur bangunan panggung ini cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua buah jendela. Pintu dan jendela itu hanya berupa sebuah lubang, tanpa penutup. Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid-masijd.
Bangunan panggung terbagi menjadi dua lantai. Lantai pertama memiliki 4 ruang dan lorong pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisi. Kalau matahari bersinar terang, cahayanya akan menembus ke dalam lantai pertama bangunan lewat pintu dan jendela. Adanya sinar matahari membuat nuansa tua yang tercipta dari kondisi bangunan serta udara yang lebih lembab dan dingin akan langsung menyergap.
Jika menuju salah satu ruang di bagian tenggara dan barat daya bangunan dan menatap ke atas, anda bisa melihat sebuah lubang yang cukup lebar. Dari lubang itulah raja-raja yang hendak berburu menuju ke lantai dua (berguna sebagai tempat berburu) dengan dibantu sebuah tangga kayu yang kini sudah tidak dapat dijumpai lagi. Dengan menatap ke atas pula, anda bisa mengetahui bahwa terdapat sebuah atap untuk menaungi lubang yang kini telah ambruk, mungkin berguna untuk mencegah air masuk.
Sekilas, bangunan ini menggambarkan kenyamanan yang diperoleh raja, bahkan saat berburu. Ketinggian bangunan membuat raja berburu dengan rasa nyaman dan aman, leluasa mengintai tanpa perlu khawatir diserang oleh hewan buas ketika berburu. Lantai dua tempat ini pun cukup nyaman, berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan dibatasi oleh pagar berlubang dengan ketinggian sedang.
Ketinggian bangunan ini menyebabkan beberapa orang menduga bahwa Panggung Krapyak juga digunakan sebagai pos pertahanan. Konon, dari tempat ini gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan peringatan dini kepada Kraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit secara bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini, sekaligus berlatih berburu dan olah kanuragan (kemampuan berperang).
Panggung Krapyak termasuk bangunan yang terletak di poros imajiner kota Yogyakarta, menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak dan Laut Selatan. Poros Panggung Krapyak hingga Kraton menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa. Wilayah sekitar panggung melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak sebagai lambang benih manusia.
mas Ishar