Kisah 3 Butir Kurma-1


Di samping sebagai raja besar dan berpengaruh karena melahirkan karya sastra antara lain Serat Wulangreh, Sunan Pakubuwono IV yang memerintah tahun 1808-1820 di Kasunanan Surakartajuga mengalami banyak intrik-intrik politik. Semua itu terjadi karena pada dasarnya merupakan raja yang antikolonial. Tahun 1808 dijadikan sebagai batas awal dengan pertimbangan bahwa pada tahun itu intervensi kolonial untuk pertama kalinya terjadi pada kehidupan politik di kraton, yaitu dengan adanya peraturan tata tertib barn yang dibuat oleh Gubernur Jenderal H.W. Daendels untuk penyambutan pejabat kolonial oleh raja. Tabun 1820 menjadi batas akhir dengan pertimbangan sebagai tahun wafatnya Sunan Pakubuwono IV. Selama periode pemerintahan tersebut, 7 kali intrik-intrik politik dilakukan oleh Sunan PAkubuwono IV yang dimaksudkan sebagai usaha untuk mempertahankan kekuasaan dan wibawanya. Tujuan utama Sunan adalah untuk mengembalikan kebesaran dan keutuhan Kerajaan Mataram Islam seperti sebelum peristiwa Palihan Nagari tahun 1755, dan berkuasa sebagai seorang raja Jawa bebas dari intervensi asing. Dalam mencapai tujuan tersebut, Sunan harus menghadapi penguasa kolonial Belanda, Prancis dan Inggris, di samping juga Kesultanan Yogyakarta dan para kerabatnya sendiri di kraton Solo. Semua peristiwa tersebut berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah kolonial sendiri terhadap Kesunanan Surakarta yang diwarnai keraguan. Kepentingan kolonial menuntut adanya ,perluasan wilayah dan pengakuan kekuasaan oleh raja-raja Jawa. Tepi pemerintah kolonial juga khawatir terjadinya konflik bcsar dengan raja-raja Jawa akibat tekanannya. Penguasa kolonial mengetahui semua rencana Sunan itu, tetapi untuk menghindari pcperangan bcsar pcmerintah kolonial tidak menurunkan atau membuang Sunan. Sementara itu Sunan berhasil lolos dari tuntutan penguasa kolonial dengan mengorbankan orang lain yang sebelumnya dilibatkan dalam intrik politiknya. Tuduhan penguasa kolonial yang didasarkan pada bukti yuridis memungkinkan Sunan untuk mengelak dan menunjuk orang lain sebagai pelaku utamanya.
Menjelang wafatnya, Sunan seakan sudah diberitahu siapa yang akan menggantikannya sebagai raja. Syahdan saat Snan sakit, ia menerima kedatangan seorang ulama dari Arab. Pada awalnya Sunan enggan menemui namun lewat abdi dalem, ulama itu memaksa untuk bertemu. Tidak banyak yang dipersoalkan saat pembicaraan itu terjadi dan sebelum mengakhiri pertemuannya dengan Sunan, ulama itu memberikan 3 butir kurma kepada sang raja. sunan menjadi heran mengapa jauh-jauh dari Arab hanya untuk menyerakan 3 butir kurma.Sang ulama menegaskan bahwa kelak 3 anak Sunan akan menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surakarta. Sunan terkejut mendnegar perkataan itu.
Berhari-hari ia memikirkan kejadian itu. Untuk pengganti dirinya, dia telah mengangkat seorang anak laki-lakidari isteri yang telah mendahului meninggal dunia, Bendoro Raden Ayu Handoyo, putra Bupati Madura, Cakraningrat, yang bernama Raden Mas Sugandhi menjadi putra mahkota. Tentu ia tidak risau soal sukses tetapi anak keturnannya yang lain menjadi raja, sama sekali di luar jangkauan Sunan.
Kehendak Tuhan telah sampai pada waktunya. .Pada tanggal 2 Oktober 1820, hampir 33 tahun setelah menjadi raja, Sunan Pakubuwono IV meninggal dunia dalam usia 53 tahun. Kemudia 8 hari sesudah itu, tepatnya pada 10 Oktober 1820, Pangeran Adipati Anom dinobatkan atau jumeneng raja Surakarta dan bergelar Sunan Pakubuwono V, sedangkan isterinya kemudian diangkat menjadi permaisuri bergelar GKR Mas Ageng. Tak lama kemudian pada tanggal 21 Januari 1821, ibu tirinnya, GKR Kencowonowungu meninggal dunia. Dan malang bagi sang raja baru itu, 3 bulan setelah kematian ibunya, permaisurinya GKR Mas Ageng meninggal dunia pula. Jasad sang isteri dimakamkan berdampingan dengan ibunya GKR Kenconowungu di Imogiri, Yogyakarta. Tak terkirakan kesedihan Sunan Pakubuwono V. Dalam jangka waktu hampir berturut-turut sudah ditinggal oleh ayah, ibu, dan isterinya sendiri. Akibatnya, ia tidak berkonsentrasi penuh dalam memikirkan roda pemerintahan kerajaan. Namun tak lama kemudian Sunan Pakubuwono V menikah kembali dengan putri Tumenggung Kusumodiningrat dan diangkat sebagai permaisuri dengan gelar GKR Kencono.
Sebagian kisah mengenai raja ini telah saya upload dalam rangkaian seria tulisan di media ini dengan judul “Bakti Raja untuk Sang Ibunda”dan “Hikayat Blusukan Sang Raja.” Dan juga pernah saya sampaikan bahwa Raja ini juga yang termasur karena menyusun Serat Centhini yang dianggap sebagai enslikoped ilmu pengetahuan yang lengkap. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya. Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga atau Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar Keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padam, desa Dander, Kasanga, Sela, Gunung Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas Keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.

Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singasari, Sanggariti, Tumpang, Kidal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, salat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karenaSyekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Ihwal kisah Serat Centhini ini memberikan pelajaran kepada kita semua bahwa kita jangan serakah. Segala sesuatu akan tiba pada waktunya. Karena hidup adalah perjalanan. Bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan juga perjalanan jiwa dan spiritual.

Dalam perjalanan itu, manusia bisa berubah. Bahwa dalam kehidupan manusia mempunyai peran yang berbeda-beda. Bahwa setiap kepribadian manusia itu akan membawa ke jalan hidup yang berbeda-beda.
Karena memuat pelbagai pengetahuan, mulai dari pembuatan makanan dan minuman, obat-obatan, peralatan hingga kehidupan seksual, maka Sir Stamford Raffles, Gubernur Jendral Hindia Belanda, menyebutnya The Javanese Encyclopedia, serat yang mampu menjadi baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa.
Dari permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Kencono, Sunan Pakubowono V hanya memperoleh satu orang putri yang bernama Gusti Kanjeng Ratu Sekar Kedaton. Sementara itu putra laki-laki terua lahir dari isteri selirnya, Raden Ayu Sosrokusumo, bernama Raden Mas Sapardan dan masih usia beranjak remaja. Melihat situasi ini, Sunan lalu meminta persetujuan pemerintah kolonial Belanda agar andai ia mangkat dapat ditunjuk adik laki-laki lain ibu, yang lahir dari ibu tirinya, permaisuri Sunan Pakubuwono IV supaya menjadi raja, yaitu Pangeran Purboyo. Atas permintaaan ini, pemerintah kolonial menyetujui.
Namun Patih Sasradiningrat kemudian menghadap Sunan dan mohon peninjauan kembali keputusan itu. Aakah keputusan pengganti sunan berikutnya itu adil? Apakah hak anak laki-laki tertua Sunan yaitu Raden Mas Sapardan haus tersingkir oleh pamannya sendiri? Bukankah sebagai orang tua Sunan mestinya memperhatikan hak-hak keturunannya?
Mas Ishar