KETIKA PARA SAHABAT MENANGIS MELIHAT RASULULLAH SAW MENAHAN LAPAR




KETIKA PARA SAHABAT MENANGIS MELIHAT RASULULLAH SAW MENAHAN LAPAR

Pada suatu ketika baginda Rasulullah menjadi imam solat. Para sahabat merasa aneh jika melihat pergerakan Rasulullah antara satu rukun ke satu rukun yang lain teramat sukar sekali. Sesekali mereka mendengar suara menggerutup yang tak lazim seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia Rasulullah bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang menaruh curiga perihal keadaan baginda tersebut langsung bertanya setelah selesai sholat, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasulullah?”. Rasulullah lantas menjawab “Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar” Umar lantas mengejar, “Ya Rasulullah… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.

Dan para sahabat amat terkejut tatkla menyaksikan perut Rasulullah yang kempis seraya dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil buat menahan rasa lapar. Ternyata batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh baginda.

Bayangkan seorang Nabi rela menahan lapar dengan lingkaran batu kerikil yang mendekap tubuhnya demi sebuah nilai amanah kepemimpinan yang tak terkira. Kita dapat belajar bahwa beliau bukanlah tipe yang takabur meratapi dirinya adalah seorang pembesar agama Islam. Beliau berkembang menjadi tipikal bagaimana sebuan nafas kesederhanaan mampu menaklukan rimba takabur dalam satu kibasan kesahajaan.

Hingga Umar bin Khattab tidak tega melihat kholifahnya dalam kondisi yang tidak sepatutnya, “Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?” Lalu baginda menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan Allah nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?

Inti zuhud adalah tidak terpengaruh atau tidak bergantungnya hati kepada berbagai hal yang berkaitan dengan kenikmatan dan atribut duniawi.

Bagi seorang zahid, urusan dunia itu tidak ada nilai langsung jika dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat. Rasulullah Saw bersabda, ”Jadilah kamu di dunia seperti orang asing atau musafir.”(HR, Bukhari). Dengan demikian dirinya tidak merasakan pengaruh apa pun terhadap dunia.

Ibnu Mas’ud Ra melihat Rasulullah Saw tidur di atas kain tikar yang lusuh sehingga membekas di pipinya, kemudian berkata, ”Wahai Rasulullah Saw, bagaimana kalau saya ambilkan untukmu kasur?” Rasulullah Saw menjawab, ”Untuk apa dunia itu! Hubungan saya dengan dunia seperti pengembara yang mampir sejenak di bawah sebatang pohon, kemudian pergi dan meninggalkannya.” (HR, al-Tirmidzi)

Zuhud adalah senjata amalan Sunnah ini akan melahirkan sifat qana’ah (menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah Swt), memunculkan sifat tawakkal (kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Swt), menumbuhkan kemampuan untuk meninggalkan kenikmatan-kenikmatan sesaat demi kenikmatan abadi di alam akhirat, ringan beribadah karena ringan beban-beban keduniaan.

Hisab pertanyaan Mahkamah dipadang mahsyar yang sangat berat dan mendetail hingga memakan waktu ribuan tahun.

Sehingga tidak heran generasi awal Islam menginfaqkan hartanya dijalan Allah dengan jumlah besar karena mudahnya hati mereka menggunakan dunia, karena dunia memang tidak dihatinya. Dan dunialah yang mengejar mereka dan diperalat mereka, bukan sebaliknya yaitu malah diperalat oleh dunia.